Ist |
Kabar
duka kembali menyelimuti Bali. Kini salah satu pejuang asal Bangli Bali
berpulang. Beliau adalah AA Gde Bagus Ardana. Beliau juga diketahui adik kandung
dari pahlawan Kapten Anom Mudita. Beliau meninggal dunia pada Senin 21 Februari 2022 pada
usia ke 90 tahun.
Ucapan
duka disampaikan oleh Sanggar Jarakbank lewat akun facebooknya. “Kami merasa
kehilangan sosok pengayom, penglingsir, dan pembina dari Sanggar Jarakbank…
Amor ing Acintya A.A Gde Bagus Ardana,” tulisnya.
Lalu
siapakah sosok dari A.A Gde Bagus Ardana?
Dilansir
dari website Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bangli diketahui jika A.A
Gde Bagus Ardana lahir di Puri Kilian/Puri Agung Bangli pada tahun 1931. Beliau
merupakan putra dari pasangan Anak Agung Gde Agung Anom Putra dengan Anak Agung
Biyang Made Rai. Dimana Anak Agung Gde Anom Mudita adalah kakak tertua beliau
yang merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia dari Bangli.
Adapun
ringkasan perjuangan Anak Agung Gde Bagus Ardana yakni kedatangan tentara NICA
ke Bangli untuk menggeledah dan menangkap orang-orang yang dicurigai sebagai
pemberontak/pejuang. Latihan pemuda di Puraja dibubarkan dan wantilan di Penida
dibakar, orang-orang Jepang yang menjadi pelatih di Puraja dipindahkan ke
Penaga.
Saat
itulah Anak Agung Gde Bagus Ardana pergi ke Penaga untuk bertemu dengan orang
Jepang yang masih setia membantu pemuda pejuang. Pada saat keluarga Puri Kilian
mengungsi di Desa Pukuh. Anak Agung Gde Bagus Ardana bersama tiga rekannya
diam-diam bergabung dengan Pasukan Ngurah Rai.
Pada
tanggal 16 Juni 1946 pasukan Ngurah Rai dalam perjalanan (long march) ke Gunung
Agung, mereka singgah dan bermalam di Desa Landih. Atas perintah Pak Mudita,
Anak Agung Gde Bagus Ardana bersama Nang Lami menyiapkan dan mengkoordinir
keperluan logistik untuk Pasukan Ngurah Rai.
Dilansir
dari Tribun Bali, anak kelima dari beliau yakni Anak Agung Gede Putra Temaja
Ardana menuturkan, sebelumnya sang ayah sempat dibawa ke RSU Bangli pada hari
Minggu 20 Februari 2022, sekitar pukul 10.00 Wita. Beliau dilarikan ke rumah
sakit karena kondisi fisiknya sempat melemah.
Setelah
menjalani perawatan sehari, AA. Ardana menghembuskan napas terakhir pada hari
Senin 21 Februari 2022 sekitar pukul 15.30 Wita. Oleh pihak keluarga, jenazah
selanjutnya dibawa ke rumah duka.
Karena
termasuk orang yang dituakan, pihak keluarga selanjutnya akan melakukan rembug
untuk membahas tingkatan upacara. Selanjutnya pihak keluarga akan bertemu
dengan peduluan adat, dan bersama-sama meminta petunjuk ke Sulinggih. Beliau
juga tercatat sebagai Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Bangli.
Sementara
itu, Jero Penyarikan Duuran Batur mengaku kaget mendengar kabar kepergian
beliau. Hal itu ia tuliskan dalam akun facebooknya.
Saya
tersentak, setelah mengetahui kabar ida lebar pada Senin (21/2/2022). Ida
mungkin tak ingat saya, tapi saya beruntung beberapa kali sempat ngiring ida
mabaosan soal Bangli. Dan, dalam ingatan saya, ida adalah panglingsir yang tak
bersekat, membumi dengan pemuda: sikap yang langka di tengah buaian romantis
elitis hari ini.
Saya
masih ingat betul, awal tahun 2019 silam, kala itu saya belum penyarikan, namun
masih ngayah sebagai Ketua Peradah Bangli, ida dengan tangan terbuka menerima
kami dan berkenan menjadi pembicara untuk mengenang spirit “Merdeka
Seratus Persen” Ida Bhatara Kapten Mudita.
H-1
kegiatan, setelah usai matur, ida mempersilakan saya dan tiga teman lain masuk
ke sebuah kamar dan melihat sejumlah due puri yang penuh estetika, satu di
antaranya tutup siwakrana berlukis “semesta”. Sebagai pemuda
kebanyakan yang awam, saya bahagia sekaligus takjub bukan main melihatnya.
Kesempatan yang langka itu membuat saya terlena, sehingga kami berempat pulang
kemalaman, menjadi salah satu faktor “tragedi” kehabisan bensin yang
hampir memaksa saya dan Jero Nyoman Diana bermalam di Pasar Kedisan. Saya lupa
Bangli punya “jam malam” alami, di mana jam 10 semua
“kehidupan” sudah berhenti.
Saya
juga ingat betul, dalam sebuah forum yang diinisiasi Pemkab Bangli, ida
menjelaskan filosofi pucuk bang sebagai maskot Bangli yang tepat. Beruntung
kala itu sempat menghaturkan buku “Ekologisme Batur”. Saya juga
sangat beruntung ngiring ida mabaosan terkait perumusan nama ibukota yang
isunya kini tampak meredup. Dalam mata rantai pertemuan itu, “warni”
ida tetap sama: tenang dan membumi.
Dan,
bagi saya, kepergian ida adalah duka bagi masyarakat Bangli. Bangli kehilangan
seorang panglingsir yang patut diteladani dan mampu hadir bukan sekadar menjadi
penuntun. Dumogi ida amor ring Acintya. Manunggal ring Sang Hyang Paramasuksma.
(TB)