Asal-usul Desa Jumpai Klungkung, Bermakna Tempat Angker, Dari 5 Banjar Kini Hanya 2 Banjar Karena Grubug

Author:
Share

Desa
Jumpai terletak di Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Bali. Desa ini
memiliki luas 1.44 km persegi. Penduduk desa Jumpai sampai dengan tahun
2015 sebanyak 1.816 jiwa terdiri dari 886 laki-laki dan 930 perempuan
dengan sex ratio 95.

Lalu
bagaimana asal usul desa ini?

Dikutip
dari website Desa Jumpai, tak banyak yang bisa diungkap dari sejarah
berdirinya Desa Jumpai ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan bukti pendukung. Sehingga
sangat sulit untuk diuraikan mengenai latar belakang atau asal usul nama
Jumpai, mengingat tidak adanya sumber yang pasti untuk dijadikan pedoman dalam
penulisan sejarah Desa Jumpai. 

Walaupun
demikian, dari penjelasan para penglingsir atau orang yang dituakan di desa
setempat, ada beberapa hal terkait berdirinya Desa Jumpai ini. Berdasarkan
cerita dari mulut ke mulut, dapat ditarik kesimpulan, jika nama Jumpai berasal
dari kata Njung dan Pahit yang mempunyai arti tempat yang angker yang dipakai
beristirahat yang mengalami berbagai macam perubahan dan kemudian bergeser
kesebelah timur sesuai dengan posisi yang sampai saat ini di beri nama Desa
Jumpai. 

Terkait
dengan kapan tepatnya nama Jumpai itu muncul, sampai saat ini belum ada sumber
resminya. Sebelumnya Desa Jumpai ini terdiri dari lima banjar (dusun).
Kelimanya yakni Banjar Jumpai Gunung, Banjar Jumpai Kanginan, Banjar Jumpai
Tengah, Banjar Jumpai Kawanan dan Banjar Jumpai Kekeran.

Namun
saat itu Desa Jumpai sempat dilanda wabah penyakit atau grubug. Wabah ini
menyebabkan ratusan warga meninggal. Warga yang berjumlah kurang lebih 800 jiwa
menjadi 300 jiwa, karena banyak yang meninggal. Ada pula yang meninggalkan desa
menuju desa lain seperti Badung, Cemagi, Seseh, dan Semawang.

Karena
hal itu, jumlah banjar pun berkurang. Dari lima banjar menjadi dua banjar yaitu
Banjar Kangin dan Banjar Kawan. Dua banjar ini pun masih berlangsung sampai
sekarang.

Sementara
itu, dilansir dari web ISI Denpasar, menurut salah satu tetua desa, I Wayan
Marpa, disebutkan pada zaman kerajaan dahulu, terdapat salah satu kerajaan
bernama kerajaan Majapahit. Kerajaan tersebut mempunyai seorang patih, ia
bernama maha patih Gajah Mada. Suatu hari, Patih Gajah Mada meminta Mpu Kresna
Kepakisan untuk datang ke Bali untuk menjadi Raja di Bali. 

Alasannya, karena
Mpu Kresna Kepakisan memiliki hubungan yang baik dan memiliki kesaktian yang
sama dengan dirinya (Patih Gajah Mada). Mpu Kresna Kepakisan mempunyai empat anak, yaitu Dalem Dirum menjadi Raja Blangbangan, Delem Made Pasuruhan
menjadi Raja Pasuruhan, Dalem Watu Muter menjadi Raja Sumbawa, dan Dalem Ketut
Kresna Kepakisan menjadi Raja Majalangu

Salah
satu anak beliau, yaitu Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang menjadi Raja
Majalangu menikah dengan Ni Gayatri. Kemudian mempunyai anak yang bernama I
Pasek Bon Dalem Samanjaya. Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan oleh Patih Gajah
Mada didaulat menjadi Raja Bali dengan para pengikut Arya Makabehan juga
disertai dengan anak beliau I Pasek Bon Dalem Samanjaya yang menjadi juragan.

Pertama
kali beliau datang ke Bali turun di pasisir Desa Langkung (Lebih). Disana
beliau pergi ke Utara, tiba di Samprangan dan menjadi Raja Samprangan. I Pasek
Bon Dalem Samanjaya adalah bermata pencaharian sebagai nelayan. Ia lalu meminta
kepada Raja Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan untuk mencari tempat di dekat
pantai, karena tempat ia tinggal jauh dari samudra.

Mulai
sejak itu, anak dari Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan, yaitu I Pasek Bon Dalem
diberi gelar I Pasek Bendega Dalem Samanjaya. Beliau mencari tempat di dekat
pasisir pantai menemukan tempat yang bernama Cedokan Boga. Di sana para
leluhur pertama tinggal.

Akan
tetapi, sekian lama tinggal di Cedokan Boga, I Pasek Bendega Dalem
Samanjaya mencari tempat lagi bergeser ke Timur menemukan tempat yang
bernama Njung Pahit (Jumpai). Kemudian bergeser  ke sebelah
Timur sesuai dengan posisi Desa Jumpai sekarang yang terdiri dari lima banjar (Dusun),
antara lain Banjar Jumpai Gunung, Banjar Jumpai Kanginan, Banjar Jumpai Tengah,
Banjar Jumpai Kawanan, dan Banjar Jumpai Kekeran.

Dikarenakan
berbagai musibah, pada suatu masa itu di Desa Jumpai mengalami wabah penyakit
hingga menyebabkan rakyat yang berjumlah 800 orang menjadi 300 orang. Karena
banyak yang meninggal, beberapa dari warga Desa Jumpai meninggalkan desa dan
beralih ke Badung, Cemagi, Seseh, dan Semawang. Banjar pun menciut
dari lima banjar menjadi dua banjar, sampai sekarang
bernama Desa Jumpai. (TB)

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!