Galungan atau biasa disebut rerahinan gumi. Dirayakan setiap enam bulan sekali tepatnya Rabu (Buda) Kliwon wuku Dunggulan. Dan dimasyarakat banyak yang mengkonotasikan bahwa Galungan adalah peringatan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).
Perayaan Galungan di Bali, salah satunya diuraikan dalam pustaka lontar Sri Aji Jaya Kesunu. Dalam lontar ini disebutkan bahwa raja-raja yang memerintah sebelum Raja Jaya Kesunu mengalami penderitaan seperti adanya penyakit sehingga banyak masyarakat yang mengalami musibah. Saat itu dianggap Bhuta Dunggulan tidak mendapat upah atau labaan yang menyebabkan terjadinya bencana.
Hal itu mendorong Raja Jaya Kesunu untuk melakukan pertapaan. Ketika bertapa Jaya Kesunu didatangi Dewi Durga. Durga memberikan wejangan agar dilaksanakan Hari Raya Galungan untuk menghindari bencana.
Hari Raya Galungan pun dirayakan dan musibah hilang. Sehingga Hari Raya Galungan ini identik dengan Durga Puja atau pemujaan kepada Dewi Durga. Hal ini juga bisa dilihat dalam proses penampahan.
Menurut pegiat Lontar dari Unud, Putu Eka Guna Yasa mengatakan dahulu yang dipotong selain babi saat Penampahan Galungan juga ada pemotongan kerbau. Kerbau ini dianggap sebagai lambang Mahesasura Mardini. Hingga saat inj di Buleleng maupun di Tabanan masih ada tradisi nampah kerbau.
Sehari sebelum Galunganlah penampahan itu dilaksanakan atau pada Selasa (Anggara) Wage wuku Dunggulan. Saat penampahan ini masyarakat memotong babi dan menjadikannya sebagai olahan untuk sarana upakara. Menurut Guna, selain memotong hewan, dalam penampahan juga membuat segehan. Segehan itu sebagai persembahan ke Bhuta Dungulan yang dihaturkan di pekarangan rumah untuk Bhuta Bucara dan Durga Bucari dimana tempat persembahannya yaitu di depan sanggah, di lebuh, dan di depan rumah.
Dalam Lontar Sundarigama juga disebutkan: Anggara Wage penampaan, irika penadah ira Sang Bhuta Galungan, marmaning sinanggeraha dening para kerti, ring desa-desa ana buta nyadnya, aneng catus pataning desa, sarupaning yadnya wenang kunang sakuweh nikang sanjata peperangan kabeh jaya-jaya kne samane ika, nguniyeh. Ikang wang kabeh perascitanen, muang jaya-jaya dening sang pandita, meke perako peretameng perang, ane perecaruning sakuwu-kuwu kunang, sega warna telu, sinasah, tandingania anut urip, purwa putih lima, daksina bang siya utara selem papat, iwaknia olahan bawi, saha tabuh, sega agung abesik, genahing caru ring natah umah, muang ring sanggar, dengen, sambat sang buta galungan ikang laki-laki abiya kala aperayascita, ayabin sesayut mengerepaken mantra pergolan, saha busananing paperangan, ngaran patitising nyane, ngaran patitising adnyana galang apadang, palane kosa ring perang.
Ini bermakna saat Anggara Wage (Dunggulan), disebut hari Penampahan. Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan nadah (makan), sehingga pada saat itu patutlah dilaksanakan upacara Bhuta Yadnya di setiap desa, dengan korban caru kepada para Bhuta, bertempat diperempatan Desa.
Persembahan yang diberikan kepada Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar dan dipuput oleh Sulinggih. Semua orang juga patut melakukan pebersihan pada saat ini.
Selain itu, di masing-masing pekarangan rumah juga dipersembagkan segehan warna 3, dengan tandingan menurut urip, yakni timur warna putih 5, selatan warna merah 4 dan utara warna hitam 9 dengan lauk olahan babi, tetabuhan, disertai segehan agung satu. Caru ini dilakukan di natah pekarangan rumah, di sanggah, dengan mengayat Sang Bhuta Galungan.
Anggota keluarga juga patut ngayab banten pabyakala, prayascita, dan sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala niskala (lahir-batin).
Selain itu pada penampahan Galungan ini juga dibuat penjor sebagai pralambang Bhatara Mahadewa yang berstana di Gunung Agung.
Sarana pembuatan penjor yakni pala bungkah atau segala jenis umbi-umbian, pala gantung segala jenis yang tergantung seperti buah-buahan, palawija atau biji-bijian, bambu, kasa putih kuning, lamak. Penjor tersebut ditancapkan di depan pintu masuk saat penampahan sore agar esoknya saat Galungan masih dalam keadaan segar.
Guna Yasa mengatakan kesegaran ini diperlukan karena kita meyakini leluhur datang ke pemerajan dan itu merupakan bentuk penghormatan secara sekala dan alangkah bagusnya warna kuning dan pitih dari janur dan ambu. Selain itu penjor ini juga berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya sehingga apa yang dipersembahkan harus segar.
Adapun makna ambu atau busung yang digunakan dalam penjor dikarenakan warna putih dari ambu dan kuning dari janur agar ada warna galang (terang) saat merayakan kemenangan darma melawan adharma. Ambu yang berwarna putih juga dijadikan sebagai sarana pengingat dahulu oleh Sang Rama saat membedakan antara Subali dan Sugriwa dan dipasang pada ekornya sehingga bisa pula ditafsirkan bahwa ambu ini digunakan sebagai simbul kebenaran karena dengan pasti Rama bisa memanah Subali yang dianggap salah memerangi adiknya sendiri yaitu Sugriwa.
Sementara penggunaan bambu dalam membuat penjor juga memiliki filosofi yakni bambu dianggap sebagai tumbuhan yang tegak lurus ke atas kemudian setelah di puncak merunduk ke bawah yang juga sering diidentikkan dengan pemimpin bahwa kebenaran harus ditancapkan setelah di atas jangan lupa yang di bawah.
Dalam Lontar Jnana Sidanta, bambu dijadikan metafora untuk kerinduan atman dengan paramatman. Sehingga ada istilah dewa ambara yoga di mana bambu dianggap sebagai tubuh dan udara di dalam bambu disebut atman. Siang dan malam atmam ini mencari jalan keluar agar udara dalam bambu bertemu udara bebas atau mahaudara. (TB)