Asal-usul Pura Ponjok Batu Buleleng dan Pelinggih Perahu di Tengah Laut, Ada Sinar Suci Memancar Terus-Menerus

Author:
Sumber Foro: www.kintamani.id

Pura
Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang berada di Kabupaten Buleleng. Pura
ini terletak di Desa Pacung, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Pura ini merupakan
Pura Dang Kahyangan atau Penyungsungan Jagat dan berkaitan dengan datangnya
Pendeta Siwa Sidanta Danghyang Nirartha pada abad ke-15 Masehi.

Dilansir
dari disbud.bulelengkab.go.id Pura Ponjok Batu memiliki arti tanjung batu.
Lontar Dwijendra Tattawa merupakan bukti sejarah yang menceritakan tentang
eksistensi Pura Ponjok Batu Buleleng. Penamaan tersebut disematkan pada pura
ini karena lokasinya yang berada di wilayah semenanjung dan terlihat menjorok
ke laut. 

Dalam
lontar Dwijendra Tattwa diceritakan kisah kedatangan Pendeta Siwa Sidanta,
yakni Danghyang Nirartha pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Beliau
melakukan perjalanan spiritual menuju ke berbagai pura, diawali dengan Pura
Pulaki. Beliau pun turut menghabiskan waktunya untuk singgah ke Pura Ponjok
Batu dan bersemedi di sana. 

Dalam
kedatangannya di Pura Ponjok Batu Buleleng, Danghyang Nirartha dikisahkan
menolong bendega serta awak perahu yang berasal dari Lombok. Dalam kisah
tersebut diciritakan bahwa awak perahu melihat adanya batu bersinar di tengah
laut. Ketika berusaha mendatanginya, perahu tiba-tiba mengalami kerusakan dan
tak dapat melanjutkan perjalanan. 

Selanjutnya,
Danghyang Nirartha pun membantu awak perahu sehingga bisa melanjutkan
perjalanannya kembali ke Pulau Lombok. Beliau pun turut serta berangkat bersama
rombongan ke Lombok. Nilai spiritual dari lokasi Pura Ponjok Batu terus
meningkat, dibuktikan dengan sinar yang memancar secara terus-menarus dari
tempat ini. 

Sementara
itu, dilansir dari babadbali.com dituliskan jika pura ini memiliki rekaman
sejarah yang panjang dan unik. Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian
di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini
sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa
Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari batu cadas, banyak
ditemukan di beberapa daerah di Bali. Sistem penguburan menggunakan sarkopah
berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar
5.000 tahun lalu.

Berarti
di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung
budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang
dihormati masyarakat. Pada zaman perundagian, masyarakat percaya pemujaan roh
nenek moyang dan orang-orang yang dihormati, seperti kepala suku atau ketua
adat. Seperti halnya tradisi pembuatan mumi di Mesir, Babilonia, Siria dan
lainnya.

Sementara
menurut kajian efigrafi atau prasasti, kawasan tersebut sebagai pemukiman
sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari
Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena
(tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu
Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang
Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja
Sri Prabu Jayapangus (1181 M). 
Di
pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini
dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa
terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar.

Saat
kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali
Utara/ Denbukit yang diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu
Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma
yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu.

Danghyang
Nirartha kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok, setelah menolong seorang
bendega atau awak perahu asal Lombok, yang sedang karam di sekitar pantai
Ponjok Batu. Dikisahkan, awak perahu itu melihat batu bersinar di tengah laut.
Batu didatangi, dibelah. Tetapi kemudian mereka tidak bisa berangkat sampai
datang pertolongan dari Danghyang Nirartha. Batu itu hingga kini masih ada di
pantai Ponjok Batu.

Sejak
kedatangan Danghyang Nirartha, nilai spiritual tempat suci kembali bangkit.
Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun
Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti
terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa.

Sementara
berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali
yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji.
Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah
tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi
seimbang. Piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat
Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh)

Pura
ini memiliki hubungan dengan Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kubutambahan.
Setiap ada upacara melasti Ida Batara di Pura Bukit Sinunggal dan Pura-pura
lain di Tajun, upacara pemelastian selalu diselenggarkan di Pura Ponjok Batu
karena di sana terdapat sumber air tawar yang memiliki kesucian dan dikatakan
sebagai air campuhan antara air darat dan laut.

Sementara
itu terkait dengan batu berbentuk perahu di Ponjok Batu, dilansir dari Tribun
Bali, disebutkan jika Pelinggih Perahu ini dibangun ketika pemugaran Pura
Ponjok Batu tahun 1994. Pelinggih perahu ini, terletak di sebuah batu besar
di tengah laut.

Konon
batu itu sudah ada sejak zaman kuno, dan memiliki aura vibrasi luar biasa kuat,
terang, dan berkharisma. Batu itu kemudian disebut Batu Pajenengan. Pelinggih perahu ini juga dibuat untuk menghormati keagungan dan kemampuan
spiritual dari Danghyang Nirartha yang menolong para bendega kala itu. Selain
juga, memberikan simbol tentang keberadaan beji atau petirtan di pantai itu. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!