Dijarah dan Diperjualbelikan! Candi Hindu Ini Awalnya 400 Buah, Kini Hanya Tersisa 8 Candi

Author:
Share
Sumber: id.wikipedia.org

Dulu
candi Hindu ini dulunya terdapat 400 buah. Namun kini hanya tersisa 8 buah.
Candi ini merupakan Kompleks Candi Dieng yang berlokasi di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia.

Dilansir
dari Wikipedia, Kompleks Candi Dieng adalah kelompok kompleks candi Hindu abad
ke-7. Kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan ini berasal dari Kerajaan
Kalingga. Kawasan dataran tinggi ini merupakan tempat berdirinya delapan
candi Hindu kecil yang merupakan salah satu bangunan keagamaan tertua
yang masih bertahan yang pernah dibangun di Jawa.

Nama
sebenarnya dari candi tersebut, sejarah, dan raja yang bertanggung jawab atas
pembangunan candi-candi ini tidak diketahui. Hal ini dikarenakan kelangkaan
data dan prasasti yang menjelaskan terkait pembangunan candi-candi ini. Penduduk Jawa lokal
menamakan setiap candi sesuai dengan tokoh wayang Jawa, kebanyakan
diambil dari epos Mahabharata.

Dilansir
dari candi.perpusnas.go.id dituliskan bahwa candi ini merupakan kumpulan candi
Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8 sampai
awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa. Sampai saat ini belum
ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng, namun para ahli
memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari
Wangsa Sanjaya.

Di
kawasan Dieng ini ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 808 M, yang
merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno, yang masih masih ada
hingga saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang ditemukan di kawasan ini sekarang
tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Pembangunan Candi Dieng diperkirakan
berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung antara akhir abad
ke-7 sampai dengan perempat pertama abad ke-8, meliputi pembangunan Candi
Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca. Tahap kedua merupakan
kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi sekitar tahun 780 M.

Candi
Dieng pertama kali diketemukan kembali pada tahun 1814. Ketika itu seorang
tentara Inggris yang sedang berwisata ke daerah Dieng melihat sekumpulan candi
yang terendam dalam genangan air telaga. Pada tahun 1956, Van Kinsbergen
memimpin upaya pengeringan telaga tempat kumpulan candi tersebut berada. Upaya
pembersihan dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1864,
dilanjutkan dengan pencatatan dan pengambilan gambar oleh Van Kinsbergen.

Luas
keseluruhan kompleks Candi Dieng mencapai sekitar 1.8 x 0.8 km persegi.
Candi-candi di kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang
berdiri sendiri yang dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang
diadopsi dari Kitab Mahabarata. Ketiga kelompok candi tersebut adalah Kelompok
Arjuna, Kelompok Gatutkaca, Kelompok Dwarawati dan satu candi yang berdiri
sendiri adalah Candi Bima.

Kelompok
Candi Arjuna Kelompok Candi Arjuna terdiri dari 5 candi yaitu Candi Arjuna,
Candi Semar, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, dan Candi Srikandi. Candi Arjuna
berdenah dasar persegi dengan luas sekitar ukuran sekitar 4 m persegi. Tubuh
candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 meter.

Candi
Semar denah dasarnya berbentuk persegi empat membujur arah utara-selatan. Batur
candi setinggi sekitar 50 cm, polos tanpa hiasan. Candi Srikandi terletak di
utara Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar
berbentuk kubus.

Candi
Sembadra batur memiliki tinggi 50 cm dengan denah dasar berbentuk bujur
sangkar. Candi ini terlihat seperti bangunan bertingkat karena atapnya
berbentuk kubus yang sama besar dengan ukuran tubuhnya. Candi Puntadewa berukuran
tidak terlalu besar, namun candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi berdiri
di atas batur bersusun setinggi sekitar 2,5 meter.

Kelompok
Candi Gatotkaca Kelompok Candi Gatutkaca terdiri dari 5 candi yaitu, Candi
Gatotkaca, Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk, dan Candi
Gareng. Sayangnya, candi yang masih dapat dilihat wujudnya hanya Candi
Gatotkaca karena keempat lainnya hanya tersisa reruntuhannya saja. Candi
Gatutkaca berdiri dengan batur Candi setinggi sekitar 1 meter dibuat bersusun
dua dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar. Berdenah segi empat dengan
penampil di keempat sisinya.

Sedangkan
kelompok Candi Dwarawati terdiri dari 4 candi yaitu Candi Dwarawati, Candi
Abiyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari. Namun, seperti Candi Gatotkaca,
Candi Dwarawati hanya memiliki satu candi yang masih utuh yaitu Candi
Dwarawati. Candi Dwarawati memiliki bentuk yang mirip dengan Candi Gatotkaca,
yaitu berdenah dasar segi empat dengan penampil di keempat sisinya. Tubuh candi
berdiri di atas batur setinggi sekitar 50 cm.

Dan
terakhir untuk Candi Bima sedikit lebih unik dibandingkan dengan candi lainnya
di kawasan Candi Dieng karena terletak menyendiri di atas bukit. Sesuai
namanya, candi ini merupakan bangunan yang terbesar di antara candi lain di
kawasan Candi Dieng. Di samping lokasi yang berbeda, bentuknya Candi Bima juga
berbeda dari candi-candi di Jawa Tengah pada umumnya. Kaki Candi Bima mempunyai
denah dasar bujur sangkar, namun karena di setiap sisi terdapat penampil yang
agak menonjol keluar, maka seolah-olah denah dasar Candi Bima berbentuk segi
delapan.

Dilansir
dari jurnalsoreang.pikiran-rakyat.com, pada tahun 1817, History of Java
mencatat adanya hampir 400 reruntuhan candi di Dieng. Namun, Raffles juga
menyaksikan bagaimana penduduk zaman itu telah menjadikan batu-batu candi
sebagai rumah, pagar, jembatan dan lain sebagainya.

Menurut
Raffles, dibanding Candi Prambanan, batu-batu candi Dieng relatif
kecil dan berukuran sama sehingga lebih mudah diangkut. Penjarahan
besar-besaran oleh bumiputra juga terekam dalam beberapa catatan lain pada era
yang sama. 39 tahun setelah History of Java ditulis, Kinsbergen, seorang
fotografer Belanda yang menemukan kembali gorong-gorong kuno Dieng,
memutuskan menguras danau yang dimaksud Junghuhn. Hasilnya, candi-candi Dieng yang
terendam mulai tertampakkan kembali.

Pencapaian
akbar ini, sayangnya, menuai efek samping yang merugikan bangsa kita hingga
hari ini. J.F Scheltema, dalam Monumental Java (1912), menceritakan
pengalamannya ketika berada di Dieng: Di sebuah penginapan, seorang
bumiputra mendekati Scheltema dan menawarkan artefak dari Dieng, yakni
sebuah patung emas seukuran telapak tangan orang dewasa.

Penjual
itu mengaku mendapatkannya dengan harga 7 gulden. Inilah potret menyedihkan
percandian Dieng pasca pengeringan danau oleh Kinsbergen. Jumlah
tinggalan yang spektakuler di Dieng menjadikannya ladang perburuan
artefak dan bahkan rebutan tiga kadipaten.

Menurut
notulensi Hindia Belanda, di awal pembersihan Dieng, seorang adipati dari
Purworejo menutup jalan dan meminta para pekerja mogok jika Dieng tidak
dimasukkan ke wilayahnya. Di tataran rakyat, batu-batu candi dijarah untuk
bahan membangun rumah, sedangkan arca dan artefaknya diperjualbelikan.

Prasasti
bisa muncul di halaman rumah rakyat dan raib keesokan harinya. Sebenarnya pemerintah
Hindia Belanda telah mengimbau rakyat agar artefak yang ditemukan di reruntuhan
candi Dieng diserahkan kepada pemerintah. Namun, karena kompensasinya
terlalu rendah, rakyat pun menjualnya kepada penadah. Melalui jalur inilah,
menurut catatan Scheltema, arca dan artefak Dieng mengalir deras ke
tangan penadah serta menyebar ke berbagai museum dunia maupun koleksi pribadi.
(TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!