Ini 9 Raja Bali Kuna dari Dinasti Warmadewa, Mulai Muncul Tahun Saka 835

Author:
Sumber Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Sebelum
Majapahit datang ke Bali dan menaklukkan Bali, di Bali sudah ada Kerajaan Bali
atau Kerajaan Bedahulu yang merupakan kerajaan kuno di Pulau Bali yang berdiri
antara abad ke-8 sampai abad ke-14. Pusat kerajaannya berada di sekitar Pejeng
atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Pendiri Kerajaan Bali adalah Sri Kesari
Warmadewa dari Dinasti Warmadewa.

Keluarga raja-raja Warmadewa pertama kali muncul dalam sejarah pada tahun 835 saka.
Berdasarkan data-data yang diungkapkan dalam prasasti maka setidaknya ada 9
raja dari Dinasti Warmadewa yang memerintah Kerajaan Bali Kuna. Berikut nama
raja tersebut yang dikutip dari artikel Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali
Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur yang disusun oleh Ida Bagus Sapta Jaya,
S.S.M.Si.

1. Sri Kesari Warmadewa (835
Saka)

Sri
Kesari Warmadewa dianggap sebagai raja Bali yang pertama yang terbaca dalam
prasasti. Mengenai raja ini telah diketemukan tiga buah prasasti yaitu Blanjong
di Sanur, Panempahan di Utara Tampaksiring, dan Malat Gede.

Ketiga
prasasti dari raja Kesariwarmadewa ini merupakan tanda kemenangan terhadap
musuh-musuhnya, atau dengan lain perkataan prasasti ini merupakan 
Jayastambha.

Dalam
Prasasti Blanjong yang menggunakan dua bahasa yaitu, yang berbahasa Bali Kuna
dengan huruf Sanskerta dan berbahasa Sanskerta memakai tulisan Bali Kuna menyebutkan
nama seorang raja yaitu Sri Kesari Warmadewa, dan keraton di Singhadwala. Dalam
Prasasti Panempahan terdapat nama raja Sri Kaisari serta Prasasti Malat Gede, terdapat
angka tahun 835 saka.

2. Sang Ratu Sri Ugrasena
(837 Saka)

Raja
yang memerintah di Bali setelah pemerintah Sri Kesari Warmadewa adalah Sang Ratu
Cri Ugrasena. Mengenai raja ini disebut dalam prasasti Babahan I yang
menyebutkan pemerintahan seorang raja yaitu Sang Ratu Sri Ugrasena, yang memerintah
tahun 837 hingga 864 Saka.

Masa
pemerintahannya sejaman dengan masa pemerintahan raja Empu Sendok di Jawa
Timur. Raja ini mengeluarkan 9 buah dan prasastinya yang terakhir berangka
tahun 864 Saka. Akan tetapi belum diketahui ada hubungan apa antara Sri Kesari
Warmadewa dengan Ugrasena.

3. Sang Ratu Sri Aji
Tabanendra Warmadewa (877 Saka)

Sang
Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa memerintah bersama dengan permaisurinya yang
bernama Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Raja ini juga mengeluarkan beberapa
prasasti atas nama beliau serta menyebutkan angka tahun pemerintahannya yaitu
877 saka.

Menurut
beberapa referensi disebutkan jika raja Tabanendra adalah salah seorang
keturunan dari raja Ugrasena.

4. Indra Jayasingha
Warmadewa (882 Saka)

Dari
sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di sebuah pura Sakenan desa Manukaya, disebut
seorang raja yang bernama Jaya Singha Warmadewa. Prasasti ini berangka tahun
882 saka, berdasarkan prasasti dari Manukaya.

Selain
itu, dalam prasasti ini juga ada penyebutan tentang pembuatan telaga dari
sumber suci yang terdapat di desa Manukraya dan desa ini sekarang bernama Manukaya
serta permandian suci itu adalah Tirta Empul dimana di dalam prasasti disebut Tirtha
di air Hampul) yang letaknya sekarang di Tampaksiring.

Disebutkan
pula bahwa Indra Jaya Singha Warmadewa muncul di antara tahun pemerintahan
Tabanendra (877-889 saka). Ada kemungkinan raja Indra Jayasingha Warmadewa ini
merebut kekuasaan dari tangan Tabanendra untuk beberapa 
tahun
tetapi kemudian dapat direbut kembali oleh Tabanendra. Namun hal ini memerlukan
penelitian yang mendalam lagi.

5. Janasadhu Warmadewa (897 Saka)

Raja
ini memerintah pada tahun 897 Caka. Tidak ada keterangan lain yang dapat dikulik
atau diperoleh dari raja ini kecuali tentang anugrah raja terhadap Desa Julah.

6. Sri Maharaja Sri Wijaya
Mahadewi (905 Saka)

Pada
tahun 905 Caka muncul seorang raja putri yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi.
Ratu ini tidak mempergunakan abhiseka raja Kula Warmadewa sehingga menimbulkan
banyak interpretasi mengenai raja ini.

Prasasti
nomor 210 Gobleg, Pura Desa II D 18 yang bertahun Saka 905, adalah satu-satunya
prasasti yang telah diketemukan atas nama ratu ini. Prasastinya menyebutkan
desa air Tabar, yaitu sebuah desa di Buleleng. Tersebut juga nama Bukit Tunggal
yang mungkin dengan bukit Sinunggal, yang kini terdapat di Buleleng bagian
Timur. Selain itu dijumpai pula nama-nama jabatan yang lazim diketemukan dalam prasasti
di Jawa, tetapi nama-nama ini tidak dikenal di Bali seperti Makudur, Wadihati
dan Pangkaja.

Namun
karena sangat sedikitnya data-data mengenai ratu ini maka banyak interpretasi
di antara para sarjana. Ada yang mengatakan ratu ini merupakan seorang putri
dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan ada juga yang berpendapat bahwa ratu ini
adalah putri Empu Sindok yang bernama Sri Isanatunggawijaya.

7. Dharma Udayana Warmadewa
(911 Saka)

Dharma
Udayana Warmadewa muncul setelah berakhirnya pemerintahan Sri Maharaja Sri
Wijaya Mahadewi. Dan nama gelarnya jelaslah bahwa Udayana 
adalah
seorang keturunan dinasti Warmadewa yang sedarah dengan Sri Kesari Warmadewa
yang dianggap sebagai cakal bakal dinasti Warmadewa.

Udayana
Warmadewa memerintah bersama dengan permaisurinya yang bernama Sri Gunapriya
Dharmapatni yakni putri yang berasal dari Jawa Timur. Putri ini adalah anak
dari Makutawangsawardana, sedangkan Makutawangsawardana adalah cucu raja Sendok
yang bertahta di Jawa Timur dari 992-943 Masehi.

Mengenai
tokoh ini banyak sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda dari para sarjana.
F.D.K. Bosch berpendapat bahwa Udayana yang tersurat dalam petirtaan di
Jalatunda adalah anak seorang putri Kamboja yang melarikan diri ke Jawa Timur
dan kemudian kawin dengan Mahendradatta.

Sedangkan
J.L.Moens, berpendapat bahwa ada dua tokoh yang bernama Udayana yaitu Udayana I
dan Udayana II. Udayana I memerintah di Jawa Timur kemudian dicandikan di
pemandian Jalatunda. Udayana II adalah putra Udayana I dan memerintah di Bali, tetapi
sebelum kawin dengan Mahendradatta, putri ini telah kawin dengan Dharmawangca
yang akhirnya melahirkan Airlangga.

Menurut
Goris ada sebuah prasasti di Bali yaitu prasasti Pucangan yang memuat 
angka
kelahiran Airlangga yaitu tahun 922 saka. Di sini jelas bahwa Airlangga lahir
di Bali dari ayah Udayana dan ibunya Mahendradatta. Pada tahun 1016 saka beliau
dinikahkan dengan putri Dharmawangsa seperti yang disebutkan dalam prasasti Kalkuta.

8. Marakata (944 Saka)

Setelah
Udayana wafat pemerintahan selanjutnya dipegang oleh putra beliau yaitu
Marakata dengan abhiseka Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana
Uttunggadewa. Dari nama Abhiseka yang dipergunakannya dapat disimpulkan bahwa
leluhur Marakata itu dari pihak ibunya yang dianggap lebih tinggi derajadnya
dari derajat leluhur ayahnya.

Di
dalam prasasti Tengkulak I raja ini disebut “Weka” (anak) dari haji dewata Sang 
Lumah
ring Air Weka Sejalu Stri”. Data-data arkeologi yang menjelaskan mengenai raja
ini adalah Prasasti dari baturan (sekarang Batuan), prasasti dari Bila (Sawan)
dan Prasasti dari desa Tengkulak tahun Caka 945.

Dilihat
dari tahun pemerintahannya maka pemerintahan Marakata sejaman dengan 
pemerintahan
Erlangga di Jawa Timur yaitu 943 saka hingga 964 saka. Kedua tokoh ini
menggunakan abhiseka Dharmawangsa dan Uttunggadewa.

Raja
Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa mangkat di 
antara
tahun saka 947-saka 971. Beliau dicandikan di Camara dan pengganti beliau
adalah Anak Wungsu.

9. Anak Wungsu (971 Saka)

Di
antara raja-raja Bali Kuna, Anak Wungsu boleh dikatakan merupakan raja yang
paling aktif mencatat atau mengabdikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
di jamannya. Kurang lebih ada 28 buah prasasti yang dikeluarkannya. Dalam
sebuah prasasti 983 saka diceritakan di desa Sukawana tentang Bhatari Mandul, di
Gunung Penulisan (desa Sukawana) ditemukan arca yang memakai tulisan Bhatari
Mandul seorang istri Anak Wungsu yang tiada mendapat putra.

Di
Pura Penataran, Tampaksiring ada sebuah arca tingginya 93 cm, yang dianggap sebagai
arca Anak Wungsu beserta permaisurinya. Di dalam prasastinya disebut-sebut
sebagai seorang raja yang penuh belas kasihan, senantiasa memikirkan kesempurnaan
duniawi yang dikuasainya dan beliau merupakan penjelmaan dari dewa kebaikan. Prasasti-prasasti
dari Anak Wungsu ini ditemukan di Bali Selatan, Tengah dan Utara misalnya Jullah
(Bali Utara), Trunyan (Bali Tengah), dan Sukawati (Bali Selatan).

Dengan
berakhirnya pemerintahan Anak Wungsu di Bali berarti berakhir pulalah 
pemerintahan
keluarga Warmadewa di Bali. (
TB)

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!