Kenapa Dewa Wisnu Turun ke Dunia Menjelma Sebagai Budha? Benarkah Budha Awatara Wisnu?

Author:
net.

Dalam
agama Hindu terdapat kepercayaan jika Dewa Wisnu beberapa kali turun ke dunia
untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran. Beliau turun ke dunia dengan
mengambil wujud makhluk bumi yang kemudian disebut sebagai awatara.

Dalam
Kitab Purana disebutkan jika Dewa Wisnu turun kedunia sebanyak 10 kali untuk
menyelamatkan umat manusia. Salah satu penjelmaan Wisnu sebagai awatara yakni Sang
Budha yang dipercaya sebagai awatara kesembilan. Sementara itu, dalam Bhagawatapurana,
Dia disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antar dua puluh lima awatara Wisnu.

Kata buddha berarti
Dia yang mendapat pencerahan. Seringkali Buddha disebut sebagai seorang yogi,
dan sebagai sanyasin (petapa). Biasanya ayahnya disebut Suddhodhana,
sama dengan tradisi Buddhisme, sementara dalam kitab lainnya ayah Sang Buddha
disebut Anjana atau Jina. Sang Buddha digambarkan sebagai sosok rupawa, dengan
kulit putih atau merah pucat, dan memakai jubah merah atau merah-coklat.

Buddha
Gautama lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana
dengan Ratu Mahamaya dari Kerajaan Kapilawastu, sekitar abad ke-6 SM. Saat
mengandung Siddharta, Mahamaya sudah berusia 45 tahun dan selama masa
kehamilannya, sang ratu sempat bermimpi dirinya ditemui seekor gajah putih yang
kemudian merasuk ke dalam rahimnya.

Para
brahmana kemudian dipanggil untuk mengartikan mimpi itu dan mereka berpendapat
bahwa bayi yang dikandung sang ratu kelak akan menjadi seorang Cakrawarti (Raja
dari semua Raja) atau seorang Buddha (yang tercerahkan). Siddartha lahir di
Taman Lumbini, Nepal saat Ratumaya berjalan-jalan di sekitar taman. Konon setelah
lahir Siddartha bisa langsung berjalan dan berbicara.

Suddhodana
sangat mengharapkan Siddhartha menjadi Cakrawarti, tetapi pikirannya
dibayang-bayangi oleh ramalan petapa Kondanna yang mengatakan bahwa Siddhartha
akan menjadi Buddha karena melihat empat hal yakni orang sakit, orang
tua, orang mati, dan pertapa.

Karena
tidak mau anaknya menjadi Buddha, keempat hal tersebut selalu berusaha ditutupi
olah Suddhodana. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua,
mati, dan pertapa suci dilihat oleh Siddhartha. Siddhartha sudah ditakdirkan
untuk menjadi seorang Buddha sehingga ramalan pertapa Kondanna menjadi
kenyataan.

Keinginan
Siddhartha untuk mendapat pencerahan yang mengantarnya menjadi Buddha terlintas
ketika ia melihat empat hal tersebut. Pikirannya terbuka untuk mencari obat
penawar sakit, tua, dan mati. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pertapa dan
berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajaran mereka,
tetapi semuanya tidak membuat Siddhartha puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan
ketika bertapa di bawah Pohon bodhi di Bodh Gaya pada malam
Purnama Sidhi bulan Waisak.

Sang
Buddha menolak diterapkannya lembaga kasta dan upacara-upacara
dalam Weda, serta tidak mengakui kewenangan kitab Weda, sehingga
ajaran-Nya menjadi agama tersendiri. Sehingga meskipun ada pandangan dalam
Hinduisme yang menganggap Buddha sebagai seorang awatara, kadang kala
ajarannya bertolak belakang dengan agama Hindu.

Meskipun
agama Buddha meyakini adanya para dewa, tetapi para dewa tersebut bukanlah
makhluk mahakuasa, tidak menciptakan alam semesta. Meskipun ajaran Buddha
menyatakan adanya Brahma, tetapi Brahma tersebut berbeda dengan Brahma dalam
agama Hindu yang menciptakan alam semesta. Brahma dalam agama Buddha tidak
hanya satu; mereka hanyalah suatu golongan dewa, seperti yang dijelaskan
dalam Brahmajala Sutta. Ajaran Buddha juga mengakui adanya Sakra,
atau pemimpin para dewa, sama seperti Indra, tetapi karakteristik dan
kisah kehidupan keduanya berbeda.

Agama
Buddha juga menekankan bahwa segala hal tidak kekal (anicca), tetapi yang
membedakannya dengan agama lainnya yang berasal dari India adalah
agama Buddha menyatakan tidak ada inti diri yang kekal, atau tiada jiwa dalam
makhluk hidup. Keyakinan tentang sesuatu yang bersifat kekal, atau ada jiwa
dalam makhluk hidup dianggap sebagai pandangan atau keyakinan yang keliru menurut
agama Buddha, dan merupakan sumber utama kemelekatan dan penderitaan.

Salah
satu dari Mahayana Sutra, yaitu Sutra Lankawatara, berisi dialog
antara Sang Buddha dengan Mahamati. Dalam dialog tersebut, Sang Buddha
menyatakan bahwa konsep Tuhan yang berdaulat, atau atman adalah imajinasi belaka
atau perwujudan dari pikiran dan bisa menjadi halangan menuju kesempurnaan
karena ini membuat kita menjadi terikat dengan konsep Tuhan Maha Pencipta. Tradisi
Hindu menganggap ajaran Buddha sebagai salah satu ajaran nastika, karena tidak
mau mengakui kitab Weda. (TB)

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!