Dalam tradisi umat Hindu di Bali, penjor merupakan simbol sakral yang tak terpisahkan dari perayaan Hari Raya Galungan.
Penjor biasanya mulai menghiasi halaman rumah umat Hindu pada saat penampahan, yakni sehari sebelum Galungan.
Meski begitu, di masa kini, banyak yang memasangnya lebih awal karena alasan kesibukan atau keterbatasan tenaga.
Namun, mengapa sebenarnya penjor dipasang pada hari penampahan? Apa makna filosofis yang terkandung di balik ritual tersebut?
Menurut Putu Eka Guna Yasa, seorang akademisi Bahasa Bali dan penggiat naskah lontar dari Universitas Udayana, penjor adalah lambang kehadiran Bhatara Mahadewa yang diyakini berstana di Gunung Agung, juga sebagai manifestasi Bhatara Siwa.
Dalam konteks ini, penjor bukan sekadar hiasan, tetapi persembahan yang sarat makna spiritual.
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat penjor pun tak sembarangan. Ada pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (buah-buahan), palawija (biji-bijian), sepotong bambu, kain putih dan kuning, serta lamak.
Semua unsur ini mewakili keseimbangan alam dan hasil bumi yang dipersembahkan kepada para dewa sebagai bagian dari upacara Dewa Yadnya.
Pemasangan penjor saat penampahan juga bertujuan agar keesokan harinya, saat Galungan tiba, penjor masih tampak segar dan indah.
Kesegaran ini dipercaya penting karena dipercaya roh leluhur datang berkunjung ke sanggah atau pemerajan pada hari Galungan.
Oleh karena itu, penjor yang masih segar mencerminkan rasa hormat yang tulus, baik secara niskala (spiritual) maupun sekala (lahiriah).
Warna kuning dan putih yang mendominasi penjor—yang berasal dari janur dan ambu (busung)—mempunyai makna tersendiri.
Warna-warna tersebut melambangkan cahaya kebenaran, sebagai bentuk syukur atas kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan).
Lebih dalam lagi, ambu yang berwarna putih juga menyimpan kisah simbolis dari epos Ramayana.
Dikisahkan, Sang Rama menggunakan kain putih sebagai penanda ekor Sugriwa untuk membedakannya dari Subali.
Ini menjadikan ambu sebagai simbol kebenaran dan ketepatan dalam menentukan yang benar dan yang salah.
Tak hanya bahan-bahannya yang bermakna, struktur penjor sendiri juga penuh filosofi.
Bambu sebagai tiang utama melambangkan kesadaran spiritual.
Ia tumbuh lurus ke atas namun ujungnya melengkung ke bawah, mengajarkan bahwa mereka yang telah tinggi dan mulia tetap harus merunduk dan rendah hati.
Dalam lontar Jnana Siddhanta, bambu juga dijadikan metafora hubungan antara atman (jiwa individu) dengan paramatman (jiwa agung), di mana udara dalam batang bambu menggambarkan jiwa yang terus mencari jalan untuk bersatu dengan sumber sejatinya.
Dengan demikian, penjor bukan hanya bagian dari dekorasi perayaan Galungan, tapi juga manifestasi nilai-nilai spiritual yang dalam—pengingat akan keseimbangan, kerendahan hati, dan kemenangan kebenaran dalam kehidupan. (TB)
Foto Istimewa