Kisah Pemandu Tertua di Bali Wayan Tegteg, Usia 60-an Tahun Masih Bisa Taklukkan Gunung Agung Bali

Author:
Share
Ist

Fisik
yang luar biasa dan hebat dimiliki oleh seorang pemandu mendaki Gunung Agung,
Karangasem, Bali. Meski usianya sudah tak muda lagi, dirinya masih bisa
menaklukkan Gunung Agung. Setidaknya hingga tahun 2020 lalu dirinya masih kuat
meskipun saat itu ia berumur 66 tahun.

Namanya
adalah I Wayan Tegteg. Ia merupakan lelaki kelahiran tahun 1954 dan sudah
menjadi pemandu lokal mendaki Gunung Agung Karangasem sejak tahun 2000 ketika
beliau masih manjadi seorang guru SD.

Hingga
dirinya pensiun, dilansir dari Balebengong.id, dirinya masih bisa naik gunung
tiga kali dalam seminggu jika cuaca bagus. Sebelum mendaki, dirinya pun sembahyang
di Pura Pasar Agung.

Dilansir
dari Bali Express, Tegteg merupakan seorang pensiunan guru SD di Selat,
Karangasem. Meskipun ia seorang perokok berat, namun tak menghalanginya untuk
menaklukkan gunung. Lebih dari dua bungkus rokok bisa ia habiskan sehari. Ia
tidak bisa berhenti dari kebiasaan merokok. Baginya mendaki adalah kegiatan
berolahraga.

Sejak
lama, Tegteg memiliki impian untuk bisa mendaki Gunung Agung di Karangasem.
Siapa menyangka, sosoknya sebagai pemandu di Gunung Agung terdengar sampai ke
telinga para penjelajah gunung berbagai kelas.

Tegteg
memulai petualangannya Maret 2000 dengan modal coba-coba. Tak sedikit yang
menyangsikan kemampuannya karena tak dibekali pengalaman mumpuni. Awal mula mendaki
dirinya belajar menghafal rute. Ia memberi tanda setiap jalan yang dilewati dan
saat turun gunung berusaha mengingat tanda itu.

Baru
beberapa waktu setelahnya dirinya mendapatkan tamu. Meskipun saat awal-awal
tersebut pernah kesasar karena salah rute. “Saya cuma bilang maaf karena
terlalu asyik ngobrol, jadi jalurnya lewat,” kata Tegteg.

Wayan
Tegteg pun diketahui aktif bersama asosiasi pemandu pendaki, Karangasem Trekker
Association atau KATA. Tegteg juga tergabung di wadah para pendaki gunung
profesional se-Indonesia, APGI atau Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia. Meskpipun
jadi guide pendaki, namun Tegteg mengaku tidak pernah mendaki gunung di luar
Bali.

Tegteg
tidak memungkiri, mendaki membuat kesehatannya terjaga. Hal ini pula yang jadi
alasan Tegteg tidak melepas pekerjaannya.

Kebiasaannya
mendaki tersebut, membuat ayah dua anak itu mengaku merasa kesehatannya terjaga.
Otot kaki, lutut, sampai persendian tetap sehat. Tidak seperti orang tua
kebanyakan yang mulai bermasalah di persendian akibat produksi minyak sendi
mulai berkurang. Tegteg tetap enerjik.

Wayan
Tegteg adalah seorang pensiunan guru SD. Tegteg mulai menjadi guru sejak bulan
Januari 1977. Saat awal ia menjadi guru di Nusa Penida, Klungkung sebagai guru
matematika.

Selama
lima tahun mengabdi di Nusa Penida, lelaki asal Desa Besan, Kecamatan Dawan,
Klungkung ini ditarik ke Kecamatan Selat, Karangasem dan bertugas di SDN 1
Selat selama 18 tahun. Dia lantas menetap di sana dan membuka warung nasi
sampai kini dengan mengontrak tanah milik warga setempat.

Berangkat
dari penghasilan sebagai guru SD yang terbilang sangat cukup, Wayan Tegteg pun
mantap nyambi jadi guide di Gunung Agung. Sementara istrinya jaga
warung.

Pendakian
pertama dimulai tahun 2000. Saat itu, upah pertama memandu dua tamu sampai
puncak Rp 20 ribu. Menurut dia bayaran segitu sudah termasuk tinggi kala itu.
Dia kerap membagi waktu karena aktif mengajar. Dia baru bisa memandu total
ketika akhir pekan atau hari libur.

Bukan
cuma alasan finansial, Tegteg mengaku senang berpetualang. Mendapatkan
ketenangan di atas puncak sambil menikmati matahari terbit menjadi motivasinya.
Seiring melakoni peran sebagai guru, Tegteg mulai dapat perhatian di kalangan
komunitas pecinta alam. Namanya mulai disejajarkan dengan pemandu profesional
setelah sempat mengawal pendaki yang rupanya bekerja di perusahaan penerbitan.

Momen
mengharukan sempat dia rasakan saat berada di puncak. Ia sempat menangis kalau
ada di puncak. Hal itu karena ia seperti tidak percaya dapat kesempatan sampai
puncak meski umurnya sudah tak muda lagi.

Wayan
Tegteg juga mengaku sempat dicaci maki pendaki gara-gara nyaris terpeleset dan
menilai rute yang diarahkan Wayan Tegteg tidak sesuai. “Ya memang ada saja yang
begitu. Padahal terpeleset bisa saja karena kekuatan kaki sudah melemah karena
lelah atau faktor lain. Sudah saya arahkan pelan-pelan saja. Tidak usah
buru-buru. Tapi saya dibilang lalai. Saya tetap sabar. Namanya kasih
pelayanan,” katanya mengenang awal-awal memandu pendaki. Agar tidak terulang,
Tegteg biasanya selalu memberi arahan. Misalnya apa saja yang perlu disiapkan.

Menurut
Tegteg, Gunung Agung punya karakter berbeda dengan gunung lain di Bali maupun
di Nusantara. Gunung dengan ketinggian 3.142 mdpl itu juga selalu menorehkan
cerita mistis. Secara niskala, ada saja hal-hal di luar logika dialami Tegteg
dan para pendaki. Tak heran, Gunung Agung adalah gunung suci yang disakralkan
masyarakat Bali. Jadi Tegteg selalu mewanti-wanti para pendaki agar menjaga
norma-etika selama menaiki puncak.

Wayan
Tegteg pernah mendengar suara air dituangkan dari teko ke gelas, namun tak satu
pun di antara mereka ada yang minum air. Apalagi perlengkapan tidak ada yang
dikeluarkan dari tas. Karena itu, pendaki diminta istirahat. Menurut Tegteg,
sekecil apapun tanda yang dirasakan, artinya pendaki diminta untuk berhenti
atau tidak memaksa melanjutkan perjalanan.

Pernah
juga kejadian, pendaki mencium aroma masakan yang sangat enak. Masalahnya sama,
tidak ada orang yang memasak. Apalagi mereka berada di tempat yang jauh dari
pemukiman warga, jadi sangat mustahil. Tegteg lagi-lagi meminta pendaki untuk
jaga perilaku saat mendaki. Menurutnya, pendaki harus memikirkan kepercayaan
dan logika harus berjalan seirama. (TB)

 

 

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!