Desa Selumbung, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali
terletak agak di pedalaman. Lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Padangbai dan
juga Desa Tenganan maupun Candidasa. Di utara dan barat desa dibatasi oleh
bukit.
terletak agak di pedalaman. Lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Padangbai dan
juga Desa Tenganan maupun Candidasa. Di utara dan barat desa dibatasi oleh
bukit.
Yang unik dari desa ini yakni tradisinya yang sakral dan magis
yang bernama Tradisi Daratan. Tradisi ini sekilah persis seperti tradisi ngurek
pada umumnya, namun yang membedakannya yakni mereka yang kerauhan (kesurupan)
membawa jempana, yang terbuat dari daun braksok yang berisi pikulan dua potong
kayu.
yang bernama Tradisi Daratan. Tradisi ini sekilah persis seperti tradisi ngurek
pada umumnya, namun yang membedakannya yakni mereka yang kerauhan (kesurupan)
membawa jempana, yang terbuat dari daun braksok yang berisi pikulan dua potong
kayu.
Selain itu tak hanya ngurek, mereka juga menebaskan keris yang dibawanya
pada tangan dan punggung. Dan disepanjang pelaksanaan tradisi ini juga dihidupkan api dari pelepah daun kelapa kering. Api ini menyala dari awal Daratan hingga berakhir.
pada tangan dan punggung. Dan disepanjang pelaksanaan tradisi ini juga dihidupkan api dari pelepah daun kelapa kering. Api ini menyala dari awal Daratan hingga berakhir.
Tradisi ini digelar setiap tahun yang merupakan rangkaian dari
upacara Ngusaba Puseh Desa Pakraman Selumbung sekitar bulan Oktober-November. Sekali
ngusaba dilaksanakan dua kali Daratan. Pertama dilaksanakan saat hari ketiga
Ngusaba dan yang kedua digelar di hari terakhir Ngusaba.
upacara Ngusaba Puseh Desa Pakraman Selumbung sekitar bulan Oktober-November. Sekali
ngusaba dilaksanakan dua kali Daratan. Pertama dilaksanakan saat hari ketiga
Ngusaba dan yang kedua digelar di hari terakhir Ngusaba.
Perbedaannya, saat daratan di hari ketiga Ngusaba tak ada barong
macan yang disebut Jero Gede, karena hanya dihadirkan saat Daratan hari
terakhir pelaksanaan Ngusaba Puseh. Sedangkan rangkaian dari Ngusaba Puseh ini
dilaksanakan selama enam hari, pertama disebut kejaba dimana semua pretima dari
beberapa pura diusung ke Pura Puseh, kedua pebantenan atau sembahyang keliling
dilanjutkan dengan melasti (dilaksanakan 2 tahun sekali), hari ketiga
pengeramean, mlayagin (memakan blayag di pura) selanjutnya juga daratan. Pada
hari keempat dan kelima disebut nyuwung, dan pada hari keenam kembali
dilaksanakan prosesi pengeramean, mlayagin dan daratan sekaligus mantuk
(membawa pretima kembali ke pura masing-masing).
macan yang disebut Jero Gede, karena hanya dihadirkan saat Daratan hari
terakhir pelaksanaan Ngusaba Puseh. Sedangkan rangkaian dari Ngusaba Puseh ini
dilaksanakan selama enam hari, pertama disebut kejaba dimana semua pretima dari
beberapa pura diusung ke Pura Puseh, kedua pebantenan atau sembahyang keliling
dilanjutkan dengan melasti (dilaksanakan 2 tahun sekali), hari ketiga
pengeramean, mlayagin (memakan blayag di pura) selanjutnya juga daratan. Pada
hari keempat dan kelima disebut nyuwung, dan pada hari keenam kembali
dilaksanakan prosesi pengeramean, mlayagin dan daratan sekaligus mantuk
(membawa pretima kembali ke pura masing-masing).
Pada Tradisi Daratan, tak hanya lelaki yang kerauahan, namun
juga perempuan. Akan tetapi perempuan tak membawa keris. Yang lelaki
bertelanjang dada dan berkeliling di areal jaba tengah (halaman kedua) pura
memikul jempana dan membawa keris.
juga perempuan. Akan tetapi perempuan tak membawa keris. Yang lelaki
bertelanjang dada dan berkeliling di areal jaba tengah (halaman kedua) pura
memikul jempana dan membawa keris.
Teriakan histeris saling sahut menyahut bersambut dengan
gambelan gong bertalu-talu dengan tempo yang cepat. Tak jarang beberapa orang
lelaki yang narat juga terluka dan meneteskan darah. Namun mereka tak merasa
kesakitan.
gambelan gong bertalu-talu dengan tempo yang cepat. Tak jarang beberapa orang
lelaki yang narat juga terluka dan meneteskan darah. Namun mereka tak merasa
kesakitan.
Sebelum daratan ini dimulai, kentongan desa berbunyi,
para lelaki yang ikut mebanjar (komunitas banjar) datang membawa keris dan
berkumpul di perempatan serta di depan Pura Baleagung. Usai mebacak (absensi)
mereka pun membuka keris dari sarungnya dan mengacung-acungkan keris tersebut
menuju ke Pura Puseh. Di jalan menuju Pura Puseh sambil mengacungkan keris
mereka berteriak “huryakkk… huryaakkk…”
para lelaki yang ikut mebanjar (komunitas banjar) datang membawa keris dan
berkumpul di perempatan serta di depan Pura Baleagung. Usai mebacak (absensi)
mereka pun membuka keris dari sarungnya dan mengacung-acungkan keris tersebut
menuju ke Pura Puseh. Di jalan menuju Pura Puseh sambil mengacungkan keris
mereka berteriak “huryakkk… huryaakkk…”
Dan ketika rombongan warga yang mesuryak sampai di Depan Pura
Puseh, beberapa orang mulai berteriak kerauhan. Keris yang dibawa oleh
warga yang ikut mesuryak itulah yang dipakai narat. Bahkan ada satu orang yang
narat membawa dua keris. Juga ada yang ikut narat dengan menggingit keris kecil
pada mulutnya. (TB)
Puseh, beberapa orang mulai berteriak kerauhan. Keris yang dibawa oleh
warga yang ikut mesuryak itulah yang dipakai narat. Bahkan ada satu orang yang
narat membawa dua keris. Juga ada yang ikut narat dengan menggingit keris kecil
pada mulutnya. (TB)
Berikut videonya