Memahami Canang Sari, Bentuk, Filosofi, dan Kegunaannya

Author:
Sumber: phdi.or.id

Canang
sari merupakan sarana upakara yang digunakan oleh umat Hindu. Canang ini akan
dihaturkan di pelinggih dan setiap banten biasanya akan dilengkapi dengan
canang sari.
Dalam
Kamus Budaya Bali (16) yang diterbitkan Balai Bahasa Bali dikatakan canang sari
atau juga disebut canang rebong merupakan sesajen sederhana yang terdiri atas
bunga, pandan harum, minyak wangi, dan uang.
Sementara
dalam hasil keputusan Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu
disebutkan
canang sari yang lengkap hanya dapat dipergunakan untuk
kepentingan upacara keagamaan (yang dengan porosan, tebu dan lain-lainnya).
Lebih lanjut diuraikan, urassari yakni hiasan bunga-bunga saja yang terdapat
pada bagian atas dari canang sari dapat dipergunakan untuk keperluan lain,
dengan sebutan puspawarsa. Puspa sama dengan bunga dan warsa sama dengan hujan,
puspa warsa berarti hujan bunga.
Wakil
Ketua PHDI Bali, Pinandita I Ketut Pasek Swastika mengatakan apapun tingkatan upakara
(banten) selalu diakhiri dengan kelengkapan canang sari. Merujuk dari
Lontar Sarwa Bebanten disebutkan banten
pinaka awakta twi, banten pinaka andabuana
, dan banten pinaka warna rupaning Dewa. “Karena itulah, banten itu
sebenarnya per-wujud-an kita, per-wujud-an alam dan per-wujud-an Tuhan dan
Dewa,” katanya.
Banten pinaka awakta twi, bermakna bahwa persembahan atau banten
itu disesuaikan dengan kemampuan kita. Hal ini juga disebutkan dalam
Bhagawadgitha yaitu iksa (niat), sakti (kemampuan), desa (tempat), kala
(waktu), patra (bahan), tattwa (dasar sastra). Lebih lanjut disebutkan banten pinaka awakta twi bermakna bahwa
banten itu per-wujud-an diri kita yaitu sesantun-daksina sebagai sirah
(kepala), tulung sebagai kolonganta (kerongkongan), peras sebagai bahu kiwa
(bahu kiri), pengambean merupakan bahu tengen (bahu kanan), sesayut sebagai atinta
(hati), perani-ayaban sebagai wetengta (perut) dan lelabaan sebagai sukunta
(suku dalam tubuh). 
Terkait
banten pinaka andabuana, bermakna
sesajen-banten itu per-wujud-an bumi ini, bahwa apapun yang dihasilkan oleh
alam ini sebagai bahan untuk persembahan sebelum dinikmati. Ini merupakan wujud
bhakti kepada Tuhan sesuai dengan konsep Tri Rna atau hubungan manusia dengan tuhan,
alam, dan sesama manusia.
Sedangkan
banten pinaka warna lan rupaning dewa,
maksudnya adalah semua persembahan tak lain adalah per-wujud-an Tuhan atau
Dewa. “Hal ini tercermin dalam wujud canang sari sebagai suatu persembahan yang
sederhana dalam ber-upacara-upakara-yadnya,” jelasnya.
Menurutnya canang sari
terbuat dari janur yang dibentuk dalam wujud segi empat. Bentuk ini
sebagai pertanda andabuana yaitu menunjukkan arah timur-selatan-barat-utara,
ditutup dengan singsing yang menyilang menunjukkan arah tenggara-barat daya-barat
laut-timur laut, plus di tengahnya dengan demikian muncullah aksara suci yaitu
Sang Bang Tang Ang Ing – Nang Mang Sing Wang Yang. “Dan bunga yang dipakai pun mewujudkan
Dewa yaitu putih-Iswara-timur, merah-Brahma-selatan, kuning-Mahadewa-barat,
hitam-Wisnu-utara, kembang rampai-Siwa-tengah. Porosan sebagai wujud Tri Murti,
irisan pisang, tebu, kiping itu wujud hasil bumi – Patram Puspam Phalam Toyam
Aghni,” paparnya.
Ida Pandita Mpu Jaya PremaAnanda mengatakan, apabila canang sari itu menjadi bagian dari kelengkapan
banten, maka unsur-unsur yang ada di dalamnya harusnya komplit. Tidak sekedar
serangkaian bunga warna-warni. “Siapa pun yang membuat dan menjual canang sari
itu haruslah memahami unsur-unsur yang ada di dalamnya, jika benar tujuannya
untuk pelengkap banten. Sebaliknya yang membeli pun harus paham unsur-unsur yang
ada di dalam canang sari itu,” kata Ida.

Ida mengatakan canang sari
adalah sesajen kecil yang berisi rangkaian bunga lengkap dengan berbagai unsur
yakni alas canang sari yang berbentuk segi empat yang disebut ceper. Di atasnya
terdapat porosan, yang memiliki makna bahwa setiap persembahan harus dilandasi
hati yang tulus. Juga dilengkapi dengan seiris tebu, pisang, kue ala kadarnya. Di
atas semua itu ada jejaitan berbentuk bundar yang digunakan dasar untuk menaruh
bunga.


Sejalan dengan apa yang
dipaparkan Pasek Swastika, dalam penataan bunga juga harus sesuai dengan warna
dan arah mata angin. Canang sari ini merupakan sarana pemujaan yang paling kanista
(artinya inti tapi cukup). “Canang sari ini merupakan hasil kreasi dari Mpu
Sangkulputih yang dipercaya masyarakat Hindu di Bali sebagai penemu berbagai
jenis banten yang kini digunakan. Semua unsur-unsur itu mengandung simbol alam
semesta disertai dengan pemujaan kepada Tuhan melalui Ista Dewata,” imbuh Ida.

Sementara, apabila canang
sari tidak memiliki unsur yang komplit disebut dengan uras sari bukan canang
sari. Karena tujuannya hanya untuk mengambil bunganya saja, sedang siapa yang
dipuja tergantung doa yang dilantunkan saat muspa itu. Sehingga yang digunakan
oleh penari menurut Ida bukan merupakan canang sari. Sarana itu disebut puspa
warsa. “Intinya adalah canang sari adalah sarana sakral yang dihaturkan sebagai
persembahan, uras sari bisa dipakai untuk muspa tetapi bukan pelengkap banten,
sedang puspa warsa untuk ‘dihamburkan’ sebagai penghormatan pada tamu,” kata
Ida. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!