Sumber Foto: www.goodnewsfromindonesia.id |
Saat
datang ke Jakarta, kita akan disuguhkan dengan bangunan gedung yang menjulang
tinggi. Hal itu merupakan hal yang biasa. Namun, kondisi yang tak biasa bisa bisa
ditemui di suku yang ada di Papua ini. Ialah Suku Korowai. Mereka tinggal di
sebuah rumah pohon yang sangat tinggi. Dimana tingginya bisa mencapai 80 kaki
atau 50 meter.
Dilansir
dari Brilio.net kondisi ini berlangsung selama berpuluh-puluh tahun di Papua
wilayah tenggara. Makin tinggi rumah mereka, maka mereka akan lebih merasa
aman. Keberadaan rumah ini adalah cara dari Suku Korowai untuk berlindung dari
perang suku yang acap kali terjadi.
Suku
yang dikenal tidak menggunakan koteka ini merupakan suku yang memang suka
bertahan di atas ranting pohon. Tinggal di atas pohon dan bersinergi dengan
alam merupakan ciri khas mereka.
Saat
ini, populasi dari Suku Korowai ada sebanyak 3.000 orang. Namun, keberadaan
mereka saat ini sangat jarang ditemui. Mereka tidak terbuka terhadap dunia
luar, bahkan mereka hanya mengetahui kelompok mereka saja. Rumah pohon Suku
Korowai ini merupakan rumah pohon tertinggi di dunia.
Bahkan
beberapa institusi perguruan tinggi dari Australia banyak yang mempelajari
tentang kontruksi ataupun gaya hidup Suku Korowai yang mereka juluki juga
sebagai Manusia Pohon. Dikutip dari kids.grid.id, suku ini ditemukan pada tahun
1978.
Sementara
itu, dikutip dari Detik travel disebutkan jika Suku Korowai merupakan suku yang
unik di pesisir selatan Papua. Suku ini hidup di hutan hujan tropis dengan
rumah yang dibangun di atas pohon. Rumah ini membuat keluarga aman dari ancaman
pemburu kepala, binatang buas, dan tidak terjangkau oleh nyamuk malaria.
Akan tetapi, alasan utama mereka membuat sebuah rumah pohon yang sangat tinggi
adalah karena ketakutan suku Korowai terhadap serangan ‘laleo’ atau iblis yang
kejam. Makhluk ini dipercaya berjalan seperti mayat hidup yang berkeliran pada
malam hari, mencari kerabat mereka.
Dulu sebelum kenal budaya modern, sebagian besar penduduk suku Korowai
menganggap setiap materi dan orang-orang dari dunia luar sebagai iblis. Sebutan
‘laleo’, iblis mati yang berjalan, diterapkan bagi semua orang asing, termasuk
orang orang Papua dari daerah lain. Beras dianggap sebagai sagu milik iblis,
atap logam seperti ilalang juga dari iblis. Selama beberapa waktu mereka
menolak barang-barang yang dibawa masuk untuk pertukaran atau agar dapat
menjadi teman dari suku Korowai.
Rumah pohon suku ini dapat diselesaikan dalam kurun waktu dua hingga tujuh
hari. Mereka memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya yaitu kulit pohon,
ilalang, daun sagu, pelepah sagu, rotan, akar, dan ranting pohon.
Rumah pohon yang lebih besar memiliki penyekat ruang dan pintu masuk berbentuk
runcing di kedua ujungnya, satu pintu untuk pria dan lainnya untuk wanita.
Perapian dari tanah liat digantungkan di atas ruang terbuka sehingga mudah
dipotong dan dijatuhkan jika bara api tidak terkendali. Rata-rata rumah pohon
berukuran sekitar 7×10 meter.
Suku korowai hidup bersama dalam satu marga. Setiap bidang tanah yang telah
dibersihkan terdapat sekitar dua atau tiga rumah pohon. Seringkali kematian
seorang anggota keluarga menyebabkan perpindahan ke lokasi lain. Kebanyakan
penguburan dilakukan di bawah rumah pohon.
Batang pohon Banyan merupakan material utama rumah. Mereka juga menyertakan
tiang berlekuk yang berfungsi sebagai tangga. Sementara itu, dinding dan atap
terbuat daru kayu pohon sagu. Untuk mengikat rumah bagian demi bagian digunakan
tali rami. Karena rumah ini harus menampung lebih dari 10 orang, lantai pun
harus kuat. (TB)
https://kids.grid.id/read/472881292/rumah-pohon-rumah-adat-suku-korowai-dari-papua?page=all