Di tengah kekayaan budaya Bali, tradisi Mesabat-sabatan Biu atau yang sering disebut Perang Pisang merupakan salah satu upacara adat yang unik di Desa Tenganan Dauh Tukad, Karangasem.
Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun sebagai bentuk ujian bagi para pemuda dalam menentukan calon pemimpin di komunitas mereka. Meskipun asal usul pastinya belum terdokumentasi dengan jelas, nilai dan filosofi di balik tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari identitas desa.
Asal Usul dan Makna Tradisi
Kata mesabat bermakna “saling lempar,” sedangkan biu berarti pisang. Gabungan kedua istilah ini menggambarkan kegiatan dalam upacara yang identik dengan “lemparan pisang.”
Tradisi ini sering diartikan sebagai Perang Pisang dan menjadi simbol ujian bagi para calon pemimpin di antara pemuda desa. Dilaksanakan pada sasih katiga, atau yang dikenal dengan Usaba Katiga, upacara ini merupakan bagian dari serangkaian ritual dalam rangka pelaksanaan usaha ketiga di Desa Tenganan.
Rangkaian Acara Tradisional
- Persiapan: Ngelawang dan Ngalang
Sebelum upacara inti dimulai, para pemuda menjalani rangkaian persiapan yang disebut ngelawang. Pada tahap ini, mereka berkeliling desa membawa sok bodag, yakni wadah khusus untuk menampung sumbangan dari warga. Proses ini menjadi simbol keterlibatan dan dukungan masyarakat dalam tradisi tersebut.
Setelah itu, dilanjutkan dengan ngalang; yakni proses memetik buah pisang dan kelapa. Hasil panen ini nantinya akan menjadi alat peraga utama dalam tradisi Mesabat-sabatan Biu.
- Pelaksanaan di Pura Bale Agung
Acara inti diadakan di area Pura Bale Agung, di mana dua kelompok pemuda bersaing dalam upacara. Satu kelompok terdiri dari calon ketua dan wakil ketua pemuda, sedangkan kelompok lainnya diisi oleh pemuda desa yang belum mencalonkan diri.
Meskipun jumlah peserta di kedua pihak tampak tidak seimbang, yakni dua orang melawan puluhan pemuda, hal inilah yang dimaksud sebagai ujian ketangguhan fisik dan mental calon pemimpin. Para peserta harus memikul buah pisang dan kelapa di bahu mereka dengan hati-hati selama pertempuran berlangsung.
- Ujian Ketahanan dan Disiplin
Dalam prosesnya, calon pemimpin harus berlari menuju gerbang Pura Bale Agung sambil membawa sok bodag yang sudah diisi sumbangan. Sementara itu, kelompok lawan berusaha menghalangi mereka dengan melemparkan pisang sebagai “senjata” sambil tetap menjaga agar buah yang mereka bawa tidak jatuh. Ketelitian dalam menjaga peralatan ini menjadi tanda kedisiplinan dan kemampuan mengatasi tekanan.
Upacara diakhiri ketika para calon pemimpin berhasil mencapai gerbang Pura Bale Agung meski dalam kondisi fisik yang memprihatinkan. Keberhasilan ini menandakan kelulusan mereka sebagai calon pemimpin pemuda di desa.
Filosofi dan Tujuan Tradisi
Mesabat-sabatan Biu bukan sekadar pertunjukan fisik, tetapi juga merupakan ujian karakter. Tujuannya adalah untuk menyeleksi pemimpin yang tangguh, disiplin, dan memiliki mental kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Tradisi ini mengajarkan pentingnya kerja sama, keberanian, dan ketekunan, serta menanamkan nilai-nilai sportivitas dan tanggung jawab yang mendalam.
Selain itu, upacara ini mempererat ikatan antarwarga dan menjaga warisan budaya yang telah ada sejak lama. Meski terkesan unik, filosofi yang terkandung dalam setiap gerakan dan ritualnya mengandung makna mendalam tentang pengorbanan dan semangat kebersamaan.
Tradisi Mesabat-sabatan Biu di Desa Tenganan Dauh Tukad, Karangasem merupakan cermin kekayaan budaya yang mengkombinasikan ritual, ujian kepemimpinan, dan nilai-nilai kebersamaan. Melalui persiapan yang teliti dan proses pelaksanaan yang penuh tantangan, upacara ini menjadi sarana untuk memilih pemimpin yang mampu membawa semangat perbaikan dan keharmonisan di tengah masyarakat. Warisan budaya ini patut dipertahankan sebagai bagian dari identitas dan kearifan lokal yang terus hidup dari generasi ke generasi. (TB)