Sumber Foto suardika27.blogspot.com |
Pelaksanaan
ngaben di Bali lazimnya menggunakan saran api. Jenazah dibakar dengan api
dengan tujuan mempercepat pengembalian badan kasar kembali ke unsur Panca Maha
Bhuta.
Akan
tetapi, ada beberapa wilayah yang pelaksanaan ngabennya tanpa proses pembakaran
jenazah. Salah terjadi secara turun temurun di Desa Buwit, Kaba Kaba, Kediri,
Tabanan, Bali. Di desa ini terdapat dua setra atau kuburan yakni setra desa
adat Buwit atau setra Gede dan setra Dalem Kelakahan. Namun yang unik yakni
pelaksanaan pengabenan di Setra Gede (kuburan lama).
Pelaksanaan
pengabenan di Setra Gede ini tidak bisa menggunakan api untuk membakar jenazah.
Hal ini dikarenakan api tidak mau menyala dan membakar sarana sembahyang,
bahkan dupa sekalipun tidak mau menyala di kawasan ini. Setra
Gede ini pun sudah ada sejak berdirinya Desa Buwit.
Dilansir
dari Bali Express, karena tak bisa menggunakan api untuk membakar jenazah, sebagian
krama desa memutuskan membuat setra baru bagi warga yang ingin jenazah
keluarganya diaben dengan cara dibakar.
Bahkan
dari awal keberadaan Setra Gede Desa Buwit, warga krama desa ketika hendak
Ngaben harus tanpa prosesi pembakaran. Keunikan ini pun terbukti ketika
kebakaran lahan ilalang di samping Setra Gede, dan hal ini tidak membakar
sedikitpun area Setra. Bahkan bekas kebakaran pun masih tampak dari pepohonan
yang batangnya menghitam di barat Setra Gede.
Bila
tak ada sesuatu yang magis, mestinya ilalang di Setra Gede juga terbakar,
apalagi terjadi saat musim kemarau. Misteri soal tradisi tak boleh menggunakan
api membakar jenazah ini, diakuinya, hingga kini tidak terungkap.
“Meski
tidak bisa menyalakan api untuk sarana sembahyang pangabenan, namun bila warga
menghidupkan api untuk merokok malah bisa. Tetapi dicoba ke dupa untuk upacara
malah tidak mau,” kata salah satu pangelingsir setempat I Gusti Alit Putu
Widana dilansir dari Bali Express.
Karena
hal itu berlangsung turun temurun, krama Buwit menyiasati Ngaben dengan cara
mengubur jenazah, layaknya seperti proses penguburan jenazah biasa. Namun ada
sedikit perbedaan yakni prosesi Ngaben tetap dilaksanakan seperti biasa,
menggunakan bade dan lembu serta upakara lainnya. Rangkaian prosesi Ngaben
ketika tiba di Setra Gede Buwit, jenazah akan dikuburkan. Liang lahat untuk
jenazah yang diaben posisinya bebas, tidak ada tempat secara khusus di setra
tersebut.
Selesai
melakukan penguburan, maka ada yang diambil buat direka menyerupai bentuk
manusia. Lantas dilakukan prosesi Nyekah hingga Nganyut di sungai. Sedangkan
jenazah yang sudah dikubur tetap dibiarkan di sana, dan dianggap sudah selesai
proses Ngabennya. Selanjutnya, Bade dan Lembu yang digunakan untuk
mengiringi jenazah, kemudian diletakkan di sebelah utara Setra.
Lantaran
ada tradisi Ngaben dengan cara mengubur dan tidak membakar, ada sebagian
krama yang membuat Setra baru di Banjar Kelakahan Kaja. Warga yang mangempon
dan memakai Setra baru ini berasal dari warga Banjar Kelakahan Kaja, sebagian
dari Kelakahan Gede, dan beberapa dari banjar lainnya. Soroh Senggu dan Guru
memilih untuk ke Setra yang baru, sebab jenazah dari soroh tersebut harus
dibakar.
Seperti
umumnya Setra, suasana angker cukup terasa. Pepohonan tinggi mengelilingi
Setra, bahkan ada yang terlihat mulai rapuh yang bisa tumbang sewaktu-waktu. I
Gusti Alit Putu Widana menjelaskan bahwa, pohon yang tumbang di Setra Gede itu
harus dilakukan upacara Macaru dengan bebek berwarna hitam. Jika tidak, maka
bisa terjadi grubug atau bencana di desa. Konon di pohon itulah rencang-rencang di
Setra tinggal.
Hingga
kini, tradisi Ngaben dengan cara penguburan tetap dilestarikan. Bila ada warga
yang hendak mencoba membakar jenazah ketika diaben, pemangku tak bisa
menolak atau mengizinkannya, namun risikonya diserahkan kepada yang
melakukannya. Dan, hingga kini warga tak mau menanggung risiko buruk yang
terjadi, meski semua itu tradisi yang hingga kini jadi misteri yang tak
terungkap. Kepercayaan ini pun akhirnya tetap teguh dipegang warga Desa Buwit.
Sementara
itu, dilansir dari website Desa Buwit, terkait dengan keberadaan Desa Buwit ini
yakni di daerah Tabanan terdapat salah satu kerajaan yakni Kerajaan Kaba-Kaba
yang diperintah oleh keturunan Arya Belog. Pada masa kerajaannya wilayah
kerajaan Kaba-Kaba adalah didaerah Kediri Timur sampai wilayah Desa Buwit. Hal
ini terbukti bahwa di Desa Buwit banyak terdapat tanah-tanah retribusi yang
merupakan tanah-tanah milik Raja Kaba-Kaba.
Saat
berada di bawah pimpinan Raja Kaba-Kaba, Desa Buwit mempunyai wilayah sebanyak
lima dusun yaitu Dusun Buwit, Dusun Kelakahan, Dusun Delod Uma, Dusun Tebejero,
dan Dusun Buading.
Pada
saat itu Sang Raja mempunyai wewenang untuk mengangkat seorang pimpinan/Bendesa
untuk memerintah Desa Buwit. Bendesa tersebut bernama Pak Monglot asal Desa
Kediri, Kabupaten Tabanan yang memerintah sekitar tahun 1920-1925. Setelah Pak
Monglot mengakhiri jabatannya, maka selanjutnya atas petunjuk Penggawa Gantung
Distrik Kediri Desa Buwit diperintah oleh I Gusti Agung Gerudug dari Banjar
Anyar Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan yang memerintah dari tahun 1925
– 1934.
Setelah
I Gusti Agung Gerudug selesai masa jabatannya karena sakit jiwa maka secara
otomatis beliau dibantu oleh keponakannya yang bernama I Gusti Agung Sukri dari
Banjar Senapahan Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan yang memerintah dari tahun 1934
– 1949.
I
Gusti Agung Sukri mengakhiri masa jabatannya kemudian diganti oleh I Ketut
Ribin dari Banjar Kelakahan Desa Buwit Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.
Dalam masa pemerintahan I Ketut Ribin, Desa Buwit mengalami perubahan-perubahan
wilayah, karena Dusun Tebejero dan Dusun Buading terlalu jauh dari
wilayah Desa Buwit dan langsung menggabungkan diri dengan Desa Kaba-Kaba baik
dalam pemerintahan administrasi maupun dalam pemerintahan otonom atau adat
istiadat.
Dengan
demikian mulai saat pemerintahan I Ketut Ribin Desa Buwit mempunyai tiga
wilayah Dusun yaitu Dusun Buwit, Dusun Kelakahan, dan Dusun Delod Uma.
I
Ketut Ribin memerintah dari tahun 1949-1954 kemudian diganti oleh I Nyoman
Saweg dari Tahun 1954 – 1979, setelah itu diganti oleh I Gede Nengah Soper dari
tahun 1979 – 1988, dan sejak tahun 1988 – 1998 Desa Buwit dipimpin oleh I Wayan
Jana dari Dusun Kelakahan Desa Buwit Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.
Kemudian
dari Tahun 1998 – 2006 Desa Buwit dipimpin oleh Nyoman Dela Darmesta dari Dusun
Delod Sema, Desa Buwit Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Di masa
kepemimpinan Nyoman Dela Darmesta, Desa Buwit mempunyai empat wilayah Dusun dan
pergantian nama Dusun menjadi Banjar Dinas yaitu Banjar Dinas Buwit, Banjar
Dinas Delod Sema, Banjar Dinas Kelakahan, dan Banjar Dinas Delod Uma.
Kemudian
dari tahun 2006 – 2019 Desa Buwit dipimpin oleh I Wayan Pugeh dari Banjar Dinas
Buwit, Desa Buwit, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan yang terdiri dari empat.
Selain itu juga terdapat tujuh Banjar Adat yaitu Banjar
Adat Kelakahan Kaja, Banjar Adat Kelakahan Gede, Banjar Adat Delod
Sema, Banjar Adat Buwit Kaja, Banjar Adat Buwit Tengah, Banjar Adat
Mertasari, Banjar Adat Delod Uma.
Dimana
enam Banjar Adat merupakan wilayah Desa Adat Buwit yaitu Banjar Adat Mertasari,
Banjar Adat Buwit Tengah, Banjar Adat Buwit Kaja, Banjar Adat Delod Sema,
Banjar Adat Kelakahan Gede, dan Banjar Adat Kelakahan Kaja sedangkan 1 (satu)
Banjar Adat yaitu Banjar Adat Delod Uma termasuk wilayah Desa Adat Kaba-Kaba. (TB)