![]() |
Ist |
Pura
ini berada di Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Pura
ini selalu didatangi oleh para pedagang untuk mendapatkan kelancaran usaha.
Namanya adalah Pura Melanting. Pura ini juga berada satu kawasan dengan Pura
Pulaki dan Pura Kertha Kawat.
Terkait
sejarah berdirinya pura ini, konon berkaitan erat dengan perjalanan Danghyang
Nirarta atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ke Bali. Dalam perjalanannya menuju ke
Bali, beliau ditemani sang istri yang bernama Danghyang Biyang Ketut atau
disebut juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan dan juga putra
putrinya.
Sang
istri dalam keadaan hamil tua dan beliau kelelahan. Setelah melakukan berbagai
pertimbangan, maka Dang Hyang Nirarta memutuskan meninggalkan sang istri dan
ditemani putrinya, Dyah Ayu Swabawa dan beberapa pengikutnya. Sementara Putra-putrinya
yang lain diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Kelak
sesampainya perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput
mereka.
Dilansir
dari babadbali.com, istri beliau bersama pengikutnya membangun pemukiman,
berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri
tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak,
sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya,
warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu.
Beliau
kemudian melahirkan seorang putra yang bernama Bagus Bajra, sesuai pesan Dang
Hyang Nirarta. Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh menjadi
putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona. Kecerdasannya nampak dalam
ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat pembeli dengan membantu
mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum
pembeli itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka akan
kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia.
Daerah
tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi
saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena
masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan
utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap
hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan
munculnya utusan itu.
Akhirnya
orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu
Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan
disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang
bepergian jauh.
Waktu
terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menunggu
kedatangan, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Beliau
menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama
seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata
memberi persyaratan yang berat.
Peranda
Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan waktu, luput
dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang
lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain
tidak iri hati melihatnya abadi.
Kilat
menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada
badai, warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih
sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian. Ida
Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru
menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di
Pura Uluwatu.
Kemudian
Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri, Dyah Ayu Swabawa
Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang
Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting
berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran
Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.
Ketiganya
juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang
pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida Bagus Ratu Samar. Walau telah
moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan melimpahi berkat untuk para
pedagang yang mau memilihkan barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon
pelanggannya, di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik Muncar
yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang yang melanggar hukum itu,
walau tak pernah tertulis, jangan harap akan mendapat kasih dan karunia dari
beliau.
Sementara
itu, dilansir dari website disbud.bulelengkab.go.id, terdapat versi lain
tentang hal ini. Dalam sejarah Pura Pulaki ditanyakan bahwa Dang Hyang Nirartha
datang ke Bali memiliki tujuan antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang
memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan
dari Desa Gading Wani.
Anak-anaknya
ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah
acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang
dalam jangka waktu yang lama. Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat
gusar.
Penduduk
desa-desa di sekitarnya yang berjumlah 8.000 orang dikutuk menjadi wong samar.
Semua menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan
pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki
sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dalam Bahasa Bali). Di areal pohon
itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Melanting.
Beliau
dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang
melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma akan
diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di
pasar mengikuti dharma maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya.
Pujawali
di pura ini digelar saat Punama Sasih Kapat, yang diperingati setiap setahun
sekali, ribuan umat Hindu datang dari berbagai pelosok Bali untuk memohon
kelancaran dan kemakmuran usahanya. Rata-rata pamedek yang nangkil membuka
usaha perdagangan di Bali, misalnya pedagang di pasar, toko sembako, pemilik
warung, bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan seperti perbankan, lembaga
perkreditan desa (LPD) hingga koperasi simpan pinjam.
Dilansir
dari Bali Express, setiap selesai sembahyang, umumnya pamedek mendapatkan tirta
untuk ditunas baik diminum maupun dipercikkan di tubuh. Pamedek juga tak jarang
membawa tirta tersebut untuk dibawa ke rumah atau ke tempat usaha.
Kelian
Pangempon Pura Pulaki dan Pasanakan, Jro Nyoman Bagiarta menyebut, krama
meyakini jika memercikkan tirta di tempat usaha dapat melancarkan bisnis yang
dilakoni. Sehingga rejeki datang dan dapat memberikan kemakmuran bagi yang
memiliki usaha. Krama yang nangkil ke Pura Melanting, sebut Jro Bagiarta,
rata-rata membawa banten pajati.
Mungkin
ada beberapa versi tentang sejarah Pura Melanting ini, dan kemungkinan akan
kami bahas pada kesempatan lainnya. (TB)