Pura di Bali Ini Dibangun Pada Masa Bali Kuna, Ada Patung Ibu Dikelilingi Anak Sebagai Tempat Memohon Keturunan

Author:
Share
Ist

Objek
wisata Candidasa yang berada di Banjar Samuh, Desa Bugbug, Kecamata Karangasem,
Kabupaten Karangasem sudah sangat terkenal di kalangan wisatawan. Candidasa ini
merupakan salah satu tempat wisata di Karangasem yang sangat diminati.

Ada
pemandangan pantai yang indah yang bisa ditemui di pinggir jalan. Selain itu
juga terdapat sebuah kolam yang berisi teratai. Kolam teratai ini terdapat di
pinggir jalan menuju ke Kota Ampalpura.

Selain
objek wisatanya yang terkenal, di kawasan Candidasa juga terdapat sebuah pura
kuna. Pura ini bernama Pura Candidasa. Pura ini berada persis di sebelah utara
kolam teratai ini. Jika dari Denpasar untuk mencapai ke pura ini bisa ditempuh
selama 1,5 jam dan berjarak kurang lebih 45 km di samping kiri jalan.

Pura
ini berada di ketinggian dan untuk naik pura paling atas harus lewat anak-anak
tangga. Pura ini sudah dibangun sejak zaman Bali kuna. Lalu bagaimanakah
sejarah berdirinya?

Dikutip
dari artikel Mitos Dewi Hariti di Pura Candi Dasa Desa Bugbug Karangasem;
Analisis Struktur, Fungsi dan Makna yang disusun Made Dwi Andini, I Gde Nala
Antara dari Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan
diterbitkan di Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 22.1 Pebruari 2018
disebutkan jika Pura Candi Dasa adalah sebuah Pura peninggalan purbakala sejak zaman
kerajaan yang dipimpin oleh Sri Aji Jayapangus. Pura ini didirikan pada tahun 1112
saka.

Pura
ini merupakan penyatuan dari penganut Siwa dan Buddha pada masa itu. Pada Pura
Candi Dasa terdapat dua bangungan pelinggih utama yaitu pada halaman pertama
(bahwa) terdapat Arca Buddha dalam bentuk Arca Hariti yang oleh masyarakat Desa
Bugbug dikenal dengan sebutan Ida Ratu Ayu (Bathara Ayu). Ida Ratu Ayu dilambangkan
sebagai sosok penyanyang, pelindung, penyelamat, dan pemberi kehidupan pada
setiap kelahiran.

Dan
dibagian kedua (atas) terdapat Lingga Siwa yang dikenal masyarakat Desa Bugbug
sebagai Bhatara Gde Sakti. Lingga Siwa ini merupakan lambang kesucian,
kemulian, dan kedamaian yang abadi.

Pura
Candi Dasa merupakan Pura yang memiliki konsepsi Rwa Bhineda yakni Pradhana dan
Purusa. Arca Hariti merupakan lambang Pradhana sedangkan Lingga Siwa merupakan
lambang Purusa.

Sementara
itu, dilansir dari situs balimekenyem.com, dikisahkan bahwa di tahun saka 1103
(tahun 1181M) bertahta seorang Raja pulau Bali yakni Sri Aji Jayapangus
Arkajalancana. Sri Aji Jayapangus didamping oleh dua istrinya yakni Paduka Sri
Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Sasangkajachina.

Salah
satunya istri Sri Aji Jayapangus ialah pengikut Buddha sedang Sri Aji
Jayapangus pengikut Siwa. Waktu pemerintah Sri Aji Jayapangus berlangsung
gejolak dari dua kekuat yakni Siwa dan Buddha.

Selanjutnya
Sri Aji Jayapangus, bersama kedua istrinya bersabda ke beberapa pendeta Siwa dan
Buddha sesudah melangsungkan pesamuhan atau rapat supaya membuat satu
Parhyangan Widhi (Pura), yang dinamakan Candi Dasa, di tahun 1112 saka (1190
M).

Dengan
adanya pesamuhan itu, sampai sekarang tempat disekitar Pura Candi Dasa diberi
nama Samuh yang dari kata Samuha yang dengan bahasa kawi berarti perudingan,
dan perkumpulan. Dan akhirnya menjadi sebuh Banjar Adat yaitu Banjar Adat
Samuh.

Dan
peninggalan lain yaitu Pelinggih Siwa dan Buddha. Pelinggih Siwa yang berbentuk
Lingga Yoni berada di atas dan pelinggih Buddha yang berwujud Dewi Hariti yang
berada di bawah. Keyakinan masyarakat di sana Dewi Hariti pada mulanya adalah
seorang yaksa dalam agama Buddha yang suka makan anak-anak.

Namun
setelah mendapatkan pencerahan ajaran Buddha, sang Dewi kemudian bertobat dan
berbalik menjadi pelindung dan penyayang anak-anak. Masyarakat setempat
meyakini bahwa Dewi Hariti ibu beranak banyak yang dapat memberikan kemakmuran
dan kesuburan.

Oleh
karena itu, banyak pasangan suami istri yang datang untuk mendapatkan sebuah
keturunan. Pasangan suami istri yang menginginkan keturunan biasanya mekemit di
Pura Candi Dasa dan sembahyang tiga kali sehari (Tri Sandya).

Dahulu,
Candidasa dikenal sebagai Teluk Kehen yang sebenarnya namanya Chili Dasa, yang
berasal dari kata Chili dan Dasa. Kata Chili yaitu anak kecil dan Dasa artinya
banyak. Namun, sejak daerah ini dibuka menjadi objek wisata, nama Candidasa pun
mulai digunakan.Namun, dianggap pemilihan nama ini berhubungan dengan cerita
“lingga” di bagian dalam Candi yang terletak pada perbukitan Candidasa.

Pura
Candi Dasa merupakan penyatuan antara daratan dan lautan yang disebut Nyegara
Gunung. Di antara daratan dan lautan terdapat kolam air tawar yang merupakan
penghubung gunung dan lautan.

Kolam
di depan Pura Candi Dasa disebut dengan Cala Dasa. Cala sama dengan Mala yang
artinya ketidak baikan. Cala Dasa diartikan sepuluh ketidak baikan/sepuluh
kekotoran. Dan hanya bisa dibersihkan atau disucikan di kolam itu, sehingga
Candi Dasa yang menyatu dengan kolamnya menjadi Sudhamala.

Hal
ini sangat erat kaitanya dengan adanya kolam yang memiliki sepuluh mata air
suci yang terdapat dihalaman depan Pura Candi Dasa. Jadi di kolam itu merupakan
tempat untuk melukat yakni untuk membersihkan atau melebur “Dasa Mala” sepuluh
ketidak baikan/kekotoran seserorang baik secara lahir maupun batin agar menjadi
suci kembali.

Pura
Candi Dasa di empon oleh masyarakat Desa Bugbug. Upacara piodalannya pada saat
Sasih Kasa sekitar bulan Juli, penanggalan ping 14/15 dan pangelong ping 1, 2,
3 nuju beteng. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!