Pura Terbesar di Pulau Jawa Ini Dipercaya Sebagai Tempat Moksanya Prabu Siliwangi dan Leluhur Pakuan Pajajaran, Ada Patung Macan Putih Hitam

Author:
Share
net.

Pura
terbesar di Jawa terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pura itu bernama Pura
Parahyangan Agung Jagatkarta atau sering disebut hanya Pura
Jagatkarta. Selain itu, pura ini menjadi pura terbesar kedua di Indonesia
setelah Pura Besakih di Bali.

Pura
Jagatkarta terletak di kaki Gunung Salak, di Ciapus, Kecamatan Tamansari di Kabupaten
Bogor dan masuk dalam kawasan Taman Nasional Halimun Gunung Salak. Pura
Jagatkarta dibangun di lokasi unik di Gunung Salak karena konon Pakuan
Pajajaran Sunda pernah berdiri di lokasi tersebut. Pakuan Pajajaran
adalah wilayah ibu kota Kerajaan Sunda Galuh, Kerajaan Hindu terakhir di
Nusantara (bersama Majapahit) yang mengalami masa keemasannya di bawah
pemerintahan Prabu Siliwangi, sebelum ditaklukkan oleh Muslim Jawa pada abad
ke-16.

Tata
letak Pura Jagatkarta juga berdasarkan legenda bahwa titik tersebut adalah
tempat di mana Prabu Siliwangi mencapai moksa bersama para
prajuritnya, sehingga sebelum dibangun, sebuah Candi dengan patung macan berwarna
putih dan hitam (lambang Prabu Siliwangi) didirikan sebagai penghormatan
terhadap Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.

Dilansir
dari situs resmi Kabupaten Bogor, pura ini terletak lebih kurang sekitar 13
kilometer dari pusat Kota Bogor. Sementara untuk sampai dilokasi komplek pura, harus
melintasi jalanan yang cukup terjal dari arah pintu gerbang selama lebih kurang
sekitar satu jam. Namun pesona yang tersaji disekitar perjalanan tersebut,
mampu mengobati sulitnya medan yang harus dilalui.

 Pura
Parahyangan Agung Jagatkarta pada awalnya dibangun sebagai salah satu bentuk
penghormatan yang dilakukan oleh umat beragama Hindu kepada Prabu Siliwangai,
yakni Prabu dari Kerajaan Hindu Padjajaran. Pembangunan komplek Pura sendiri
telah dimulai sejak tahun 1995 silam, di atas lahan dengan luas lebih kurang
sekitar 2,5 hektar.

Disamping
itu, pemilihan kawasan Taman Nasional Halimun Gunung Salak sebagai areal untuk
membangun Pura, juga mengacu kepada berbagai kisah sejarah. Menurut penuturan
dari pihak pengelola komplek areal Pura, kawasan tersebut diyakini menjadi
salah satu kawasan yang dahulu digunakan sebagai salah satu tempat petilasan
oleh Prabu Siliwangi.

Pada
Tahun 1995, dimulai dengan membangun sebuah candi disatu titik yang diyakini sebagai
petilasan Prabu Siliwangi. Pembangunan candi tersebut adalah sebagai simbul
penghormatan kepada leluhur tanah sunda. Selama proses pembangunan, untuk
sementara pura disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”.

Hingga
tahun 2005, atas partisipasi umat baik perorangan maupun institusi/lembaga,
panitia berhasil menyelesaikan seluruh pelinggih di utamaning utama dan utama
mandala berupa Padmasana, Candi, Anglurah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale
Pesamuan Agung, Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan/Bale Gajah, Bale
Reringgitan, Bale Panjang dan Panggunan.

Demikian
juga pelinggih Betari Melanting/Pasar Agung dipandang perlu dibangun sementara,
untuk “nedungan Ida “ selama pelaksanaan upacara ngenteg linggih. Di Madya dan
Kanista Mandala didirikan berbagai bangunan semi permanen untuk mengdukung
yadnya maupun operasional pura selanjutnya.

Dari
sejak dirintis pembangunan pura ini merupakan hasil kerja gotong royong umat.
Memang belum semua bagian selesai dikerjakan. Namun bangunan pura utama,
seperti Pura Padmesana dan Balai Pasamuan Agung dan Mandala Utama segera
selesai. Rencananya pura Gunung Salak ini akan terdiri dari empat area yakni area
utama Ning Mandala yang merupakan area suci hingga hanya para pemangku agama
yang bisa menjejakan kakinya. Bangunan penting lain adalah Padmasana yang merupakan
tempat persemayaman Tuhan serta Balai Pasamuan Agung.

Pada
hari minggu, 11 Juni 2005 dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih dari
Bali, Bandung, Bogor, Lampung, Tangerang dan Jakarta termasuk dharma adhyaksa
PHDI Pusat. Paruman Sulinggih ini menghasilkan empat butir bhisama. 
Salah
satu isinya yakni pura yang telah dibangun disepakati dengan nama “Parahyangan
Agung Jagat Karta”.

Ini
diambil dari philosofi penciptaan alam semesta, dimana ketika Ida Sanghyang
Widhi Wasa menciptakan alam semesta serta menurunkan ajaran Sanghyang Catur
Weda, bergelar Sanghyang Jagat Kartta. Jawa Barat semasa pemerintahan raja-raja
Siliwangi khususnya Prabhu Sri Baduga Maharaja, agama Veda (Hindu) adalah agama
kerajaan artinya raja dan rakyat Jawa Barat memeluk agama Hindu, Jawa Barat
adalah tempat pertama masuknya ajaran Veda/agama Hindu di Pulau Jawa.

Dikaitkan
dengan hal tersebutlah maka pura yang berlokasi di lereng Gunung Salak, dimana
didalamnya juga terdapat candi sebagai stana Dewa Hyang Prabhu Siliwangi Shri
Baduga Maharaja ini diberi nama “Parahyangan Agung Jagat Kartta”. Wilayah
tempat berdirinya pura ini juga dikenal sebagai desa dan sekaligus kecamatan
Tamansari di lereng Gunung Salak.

Kemudian
kata “Tamansari gunung Salak “menjadi kesatuan utuh tak terpisahkan, melekat
dengan nama pura, sehingga secara lengkap disebut sebagai “Parahyangan Agung
Jagat Kartta Tamansari Gunung Salak”. Keseluruhan nama tersebut mengandung
makna “pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang
Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa
Barat.

Ditetapkan
pujawali pura dilaksanakan pada Purnama sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa
piodalan pura-pura di wilayah sekitar BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang,
Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) umumnya berlangsung pada Purnama
Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu tersebut, diharapkan umat sekitar
dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk berpartisipasi di pura.

Pura
ini diresmikan dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra
Pon Kulantir, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29
September 2005, sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada
Purnamaning Ketiga, Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu
tanggal 18 September 2005.

Seluruh
rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan (dituwur)
dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor, Tanggerang,
Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam rangkaian upacara
ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang tergabung dalam
Sanggraha Pinandita Nusantara. Bertindak selaku manggala upacara Ngenteg
Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dari Griya Aan, Klungkung, Bali,
yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.

Di
pintu masuk pura terdapat tiga buah kori agung. Selain itu, terdapat pula dua
buah patung berwujud sepasang naga menghiasi sebuah lintasan berupa tangga
untuk menuju pintu gerbang tersebut.

Terdapat
berbagai jenis bangunan serta ornamen indah yang tampak begitu tertata dengan
rapi, dan menghiasi segala sudut pada bagian dalam dari komplek Pura ini yakni sebuah
arca berwujud Patung Ganesha, serta Candi Bentar berwarna hitam, dan berada
persis pada bagian tengah Pura Parahyangan Agung Jagatkartta.

Sebelum
masuk di areal utama Pura Jagatkarta juga terdapat Pura Melanting dan Pura
Pasar Agung yang digunakan khusus untuk bersembahyang, menyempurnakan, serta
menyucikan persembahan yang akan dihaturkan di Pura Jagatkarta sebagai wujud
rasa syukur. Pengunjung wisatawan umumnya dilarang masuk ke pura utama, kecuali
bagi yang hendak melakukan ritual bersembahyang, akses hanya hingga pelataran
luar pura. (TB)

Referensi:

https://bogorkab.go.id/post/detail/pura-parahyangan-agung-jagatkarttya

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!