![]() |
Sumber: bebetin-buleleng.desa.id |
Desa Bebetin berada di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali
dengan luas 6.88 Km persegi. Dikutif dari web Desa Bebetin, dalam beberapa
sumber Desa Bebetin disebut dengan berbagai nama seperti Banwa Baru, Gunung
Bongga, Sari Wukiran dan Bebetin.
Nama Banwa Bharu pertama kali terbaca dalam Prasasti Bebetin yang
bertahun Caka 818 atau 896 Masehi. Prasasti ini berbahasa Bali Kuno. Prasasti
ini berisi keterangan tentang suatu desa (banwa) bharu, atau secara lengkapnya
kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang berbenteng.
Prasasti Bebetin AI ini tidak menyebutkan nama raja yang
mengeluarkan prasasti, namun menyebutkan nama keraton, yang dinamakan
panglapukan di Singamandawa. Dalam prasasti diceritakan tentang desa itu yang
diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati terbunuh atau
terluka, serta banyak pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga.
Setelah keadaan aman, penduduk lalu kembali ke Desa Bharu.
Kemudian raja menyuruh pejabat nayakan pradhana, yaitu kumpi ugra dan bhiksu
Widya Ruwana untuk memimpin pembangunan kuil Hyang Api, dengan tujuan untuk
melengkapi desa tersebut dalam bidang spiritual pada batas-batas wilayah yang
telah ditentukan yaitu: batas timur Menanga, batas selatan Bukit Mengandang,
batas barat tukad Batang.
Banwa Bharu adalah sebuah desa yang secara struktural telah
mempunyai sistem pemerintahan yang teratur. Dalam lembar Va No 301. AII
disebutkan pejabat pejabat desa pada waktu itu yakni Pangulun Desa bernama
I Basta, Juru Surat bernama I Tayung, Hulu Lapu bernama I Kunceng,
Kulapati bernama I Sadnyana, serta Pangamong bernama I Gansur dan I Rawit.
Dalam prasasti juga disebutkan bahwa penduduk Banwa Bharu selain
bercocok tanam juga memelihara ternak, sebagai undagi dan pande serta kegiatan
seni seperti pamukul (penabuh gamelan), Pagending (Pesinden), Pabunying
(Penabuh angklung), Papadaha (Penabuh kendang), Parbhangsi (Peniup seruling
besar), Patapukan (Perkumpulan topeng) dan Parbwayang (dalang).
Pada tahun saka 972 atau 1050 Masehi disebutkan pejabat-pejabat di
Banwa Bharu datang menghadap Raja Anak Wungsu. Mereka memohon agar sri baginda
berkenan meninjau kembali isi prasasti terdahulu. Mereka juga melaporkan bahwa
Banwa Bharu rusak di serang musuh Wong Bajo. Karena musibah yang menimpa Banwa
Bharu tersebut, maka oleh raja, penduduk Banwa Bharu diberikan keringanan
berupa bebas pajak.
Bila disimak Banwa Bharu seringkali diserang oleh bajak laut,
akibat serangan tersebut Banwa Bharu mengalami kerusakan, dan tidak bisa
diperbaiki hingga kemudian Banwa Bharu lenyap dan berubah menjadi semak belukar
atau Betbetan dalam bahasa Bali.
Pada tahun 1260 masehi yaitu pada masa pemerintahan Dalem Ketut
Ngulesir disebutkan beliau mengutus putra Ki Pasek Gelgel, cucu dari Kyayi
Gusti Agung Pasek Gelgel untuk memegang wilayah Bali Utara, sebelah Barat Pakwan (Pakisan) yang disebut
dengan daerah Gunung Bongga.
Gunung Bongga berarti daerah pegunungan yang kaya akan pohon
buah-buahan, di samping disebut Gunung Bongga, daerah ini juga disebut Sari
Wukiran yang juga bermakna hasil daerah pegunungan. Nama-nama desa tetangga
disebutkan antara lain Sari Serodan (Sawan), Sari Aji (Sudaji) dan Sari Kumpul
(Sekumpul).
Setelah diangkat beliau beserta pengikutnya mulai membuka
hutan, merambas dan membongkar akar-akar pohon untuk dijadikan pemukiman,
tegalan atau sawah. Membongkar dalam bahasa bali disebut bet. Dari kata Bet-bet-in inilah kemudian tempat itu disebut
dengan nama Bebetin. Dan putra Ki Pasek Gelgel tersebut kemudian bergelar Ki
Pasek Gelgel Bebetin.
Pada tahun 1815 disebut-sebutlah para tetua di Desa Bebetin,
yaitu Jero
Gede Pasek, Jero Gede Bendesa , Jero Pasek Gede Dana dari Kawanan, I Made Dwaja
dari Kawanan, Kumpi Gumiana dari Pulasari, leluhurnya Buyut Sringanti dari
warga Dalem Sukawati dan
lain-lain. Beliau-beliau itulah yang diceritakan melanjutkan pembangunan di
Desa Bebetin.
Bebetin pun semakin marak berkembang dibarengi dengan datangnya
warga-warga dari Bali Selatan maupun dari Bali Utara. Warga-warga ini menetap
di Desa Bebetin dan menjadi kerama Desa bebetin. Disamping menjadi krama ,
tiap-tiap warga yang datang ke desa ini langsung membangun pura keluarga yang
disebut panti, paibon, dadiya dan lain-lain.
Sampai saat ini pura-pura keluarga di Desa Bebetin berjumlah 40
buah pura dengan anggota (pengempon) 3-250 KK. Sedangkan untuk Desa Adat
Bebetin ditandai dengan adanya konsep Tri Hita Karana, yaitu Kahyangan Tiga (Pura Bukit, Pura Bale Agung, Pura
Dalem, dan pura wewiden lainnya); Palemahan; dan Pawongan.
Pada tanggal 9 April 1946, di zaman revolusi fisik Bebetin kembali
terukir dalam hiasan sejarah. Desa Bebetin menjadi lautan api, karena diserang
oleh Nica Belanda. Kemudian Ketua Markas Suka (I
Gede Kojan) bersama pemuda
pejuang lainnya pindah ke Dusun
Bingin Galungan. Korban pertempuran tak
dapat dihindarkan. Pejuang yang gugur adalah I Made Wetan, Bapa Suweca, Bapa Tabanan, Nyoman
Sedana, Cening Juita dan Ida Bagus Toya. (TB)