Desa Kerobokan yang berada di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, memiliki sejarah panjang yang diwariskan secara turun-temurun. Sayangnya, tidak ada catatan sejarah tertulis yang otentik, seperti prasasti, babad, atau dokumen resmi yang mengisahkan masa lalu desa ini.
Namun, cerita rakyat yang diceritakan dari generasi ke generasi memberikan gambaran sejarah awal Desa Kerobokan.
Dahulu, Desa Kerobokan dikenal dengan nama Pidanmasana, sebuah desa tua yang terletak di sebelah selatan lokasi Kerobokan saat ini. Desa tersebut terbentang dari arah utara ke selatan dan dipimpin oleh Dewa Bagus Manik Macuet.
Pada masa kepemimpinannya, desa dihuni oleh sekitar 40 kepala keluarga.
Namun, gaya kepemimpinan Dewa Bagus yang otoriter dan keras membuat masyarakat hidup dalam ketakutan. Sosoknya dianggap sebagai seorang raja yang berkuasa penuh.
Kekuasaan Dewa Bagus Manik Macuet tidak berlangsung lama. Ia meninggal akibat penyakit yang tak bisa disembuhkan dan tidak meninggalkan keturunan di Desa Pidanmasana.
Sebelum memimpin desa tersebut, Dewa Bagus sebenarnya berasal dari Desa Pegamelan (sekarang Desa Penarukan) dan menikah dengan putri Jero Bendesa setempat.
Namun, karena pernikahannya dengan seseorang dari kasta lebih rendah, status sosialnya diturunkan menjadi “Bagus,” yang memicu ketidakpuasannya.
Ia pun memilih pindah ke Desa Pidanmasana, di mana ia dipercaya menjadi pemimpin desa karena dianggap bijaksana dan berwibawa.
Setelah Dewa Bagus Manik Macuet wafat, Desa Pidanmasana mengalami kekacauan. Tidak adanya pemimpin membuat terjadi huru-hara dan perpecahan di antara penduduk.
Konflik tersebut bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa, sehingga jumlah penduduk semakin berkurang. Persatuan sulit dibina, dan kondisi desa semakin tidak kondusif.
Karena situasi semakin memburuk, sebagian penduduk memutuskan untuk mencari tempat tinggal baru yang lebih aman dan damai.
Mereka kemudian bergerak ke arah utara dan membangun pemukiman baru. Wilayah baru ini diberi nama “Kerobokan,” yang berasal dari kata “kerobok” dalam bahasa Bali, yang berarti perkelahian atau konflik.
Nama tersebut dipilih karena desa baru ini lahir sebagai akibat dari pertikaian yang terjadi di Pidanmasana.
Pada awal berdirinya, wilayah Desa Kerobokan mencakup Banjar Dalem dan Banjar Bale Agung, tanpa Banjar Kloncing. Kepemimpinan desa pertama kali dipegang oleh Kaki Mukiadi sebagai kelian desa adat.
Sementara itu, urusan pemerintahan administratif dikelola oleh seorang Manca yang berkedudukan di Desa Penarukan.
Pada tahun 1969, terjadi penggabungan antara Keperbekelan Kerobokan dan Keperbekelan Kloncing, yang sebelumnya berdiri sendiri.
Penggabungan ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan administratif pembentukan desa dinas. Dengan bergabungnya Perbekelan Kloncing, wilayah Desa Kerobokan meluas mencakup tiga banjar, yaitu Banjar Dalem, Banjar Bale Agung, dan Banjar Kloncing.
Meskipun demikian, Banjar Kloncing tetap mempertahankan statusnya sebagai desa adat yang terpisah.
Desa Kerobokan saat ini membawahi dua desa adat, yaitu Desa Pakraman Kerobokan dan Desa Pakraman Kloncing.
Sebagai bagian dari Kecamatan Sawan, Desa Kerobokan terus mempertahankan tradisi dan kearifan lokal yang diwarisi dari leluhur, sembari beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Demikianlah kisah sejarah Desa Kerobokan, yang bermula dari konflik dan perpindahan penduduk hingga akhirnya tumbuh menjadi desa yang berdaya dan berbudaya. (TB)