Sejarah Desa Perancak Jembrana, Bermula dari Tokoh Sakti namun Lalim I Gusti Ngurah

Author:
Share

Desa Perancak yang berada di pesisir barat Pulau Bali merupakan salah satu desa tua yang menyimpan banyak kisah sejarah.

Terletak di dataran rendah dan masuk dalam wilayah Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, desa ini dulunya dikenal dengan nama Tanjung Ketapang.

Nama tersebut mengacu pada letaknya yang menjorok ke laut dan ditumbuhi pohon ketapang.

Pada masa lalu, Tanjung Ketapang belum ramai dihuni. Penduduknya kebanyakan adalah pendatang yang belum menetap secara permanen.

Beberapa di antaranya akhirnya memilih tinggal dan membentuk komunitas yang dipimpin oleh seorang tokoh bernama I Gusti Ngurah.

Ia menetapkan dirinya sebagai pemimpin mutlak, bahkan menganggap dirinya harus dihormati dan disembah oleh siapa pun yang datang ke wilayah itu.

BACA JUGA  Resividis Asal NTT Berulah di Jimbaran Bali, Mahasiswi Jadi Korban Kekerasan dan Pencabulan Saat Menunggu Bus

Sebuah pura atau pelinggih dibangun sebagai pusat kekuasaannya.

Saat itu, para pelaut dari Sulawesi, khususnya Suku Bajau, juga sempat tinggal di daerah ini.

Namun mereka diwajibkan hidup terpisah dari warga setempat, membangun rumah sendiri, membuat sumur sendiri, dan menyediakan tempat pemakaman sendiri.

Bukti keberadaan mereka masih terlihat hingga kini melalui Sumur Bajo di kawasan Tanjung Tangis dan Sema Bajo (kuburan kecil) yang berada di seberang sungai, wilayah Pengambengan.

Sumur Bajo ini hingga sekarang dianggap suci dan digunakan saat upacara keagamaan sebagai tempat memohon air suci atau tirtha hening.

Perubahan besar dalam sejarah desa terjadi ketika seorang pendeta besar dari Jawa, Danghyang Nirartha, datang ke Tanjung Ketapang dalam perjalanannya menyebarkan ajaran Hindu.

BACA JUGA  Surya Paloh Soroti Lambannya Perkembangan Infrastruktur Jalan di Bali: 50 Tahun 60 Tahun lalu Saya ke Bali Sama Saja

Meskipun semula dianggap rakyat biasa oleh I Gusti Ngurah, sang pendeta tetap tunduk pada aturan setempat.

Namun dalam sebuah kejadian di pura pemimpin desa itu, karena kesaktiannya, pura tersebut tiba-tiba terbelah menjadi dua setelah beliau menyembah di sana.

Peristiwa ini membuat I Gusti Ngurah ketakutan dan melarikan diri ke arah pegunungan yang kini dikenal dengan nama Sawe Rangsasa.

Masyarakat kemudian memberi gelar kepada sang pendeta sebagai Pendeta Sakti Bahu Rauh atau Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Sebagai penghormatan, dibangunlah sebuah tempat suci bernama Pura Encak, tempat yang menandai peristiwa pecahnya pura dan sebagai simbol pengabdian kepada guru suci Hindu tersebut, yang kini dipuja sebagai Bhatara Sakti.

BACA JUGA  Sejarah Desa Sekartaji Nusa Penida, Bermula dari Pendeta dari Desa Ped

Nama desa pun lambat laun berubah. Dari Tanjung Ketapang menjadi Purancak, yang diambil dari kata “Pura” dan “Encak” (yang dalam bahasa Bali berarti pecah).

Seiring waktu, penyebutan Purancak berubah menjadi Perancak untuk memudahkan pengucapan.

Kepala desa pertama yang tercatat dalam sejarah adalah Pan Kerani, sekitar tahun 1815 M.

Hingga kini, Desa Perancak tetap mempertahankan adat dan budaya leluhur.

Selain sebagai tempat tinggal masyarakat yang menjunjung nilai tradisi, desa ini juga menjadi salah satu titik penting spiritual di Jembrana, terutama melalui keberadaan Pura Gde Perancak yang memuliakan Bhatara Sakti sebagai pelindung desa. (TB)

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!