Desa Trunyan, yang terletak di tepi Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, dikenal sebagai salah satu desa Bali Aga yang mempertahankan tradisi leluhur mereka.
Nama “Trunyan” diyakini berasal dari kata “Taru” yang berarti pohon dan “Menyan” yang berarti harum, merujuk pada pohon Taru Menyan yang tumbuh di desa ini dan mengeluarkan aroma khas.
Legenda menyebutkan bahwa bau harum pohon ini menarik perhatian empat bersaudara dari Kerajaan Surakarta di Jawa.
Dalam perjalanan mereka mencari sumber aroma tersebut, seorang putri bungsu memilih menetap di lereng timur Gunung Batur dan diberi gelar Ratu Ayu Mas Marketeg.
Sementara itu, ketiga pangeran lainnya melanjutkan perjalanan hingga akhirnya salah satu dari mereka menemukan pohon Taru Menyan dan bertemu seorang Dewi cantik.
Sang pangeran tertua, yang jatuh cinta pada Dewi tersebut, diterima sebagai suami dengan syarat menjadi pemimpin desa.
Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Ratu Sakti Pancering Jagat, dan desa ini berkembang sebagai kerajaan kecil yang mempertahankan tradisi uniknya.
Masyarakat Trunyan merupakan bagian dari komunitas Bali Aga, yang diyakini sebagai penduduk asli Bali sebelum kedatangan pengaruh Hindu Majapahit pada abad ke-14.
Mereka tetap teguh menjaga adat istiadat dan sistem sosial mereka yang berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya.
Struktur sosial mereka mengikuti sistem patrilineal, dengan pemimpin adat yang disebut Jero Kubayan.
Salah satu aspek paling unik dari Desa Trunyan adalah tradisi pemakamannya.
Berbeda dengan kebiasaan kremasi di Bali, masyarakat Trunyan memiliki sistem pemakaman yang disebut “Mepasah”.
Jenazah tidak dikubur atau dikremasi, melainkan diletakkan di atas tanah di area khusus yang disebut Sema Wayah, dikelilingi pagar bambu sederhana.
Keunikan dari tradisi ini adalah jenazah yang diletakkan di sana tidak mengeluarkan bau busuk, karena diyakini diserap oleh pohon Taru Menyan.
Kepercayaan ini berakar dari masa kepemimpinan Ratu Sakti Pancering Jagat, yang memerintahkan agar jenazah dibiarkan terbuka untuk menjaga keaslian desa dan mencegah orang luar datang karena tertarik dengan aroma harum pohon Taru Menyan.
Sejak saat itu, bau harum pohon pun menghilang, sementara jenazah tetap tidak membusuk berkat pengaruh alami lingkungan.
Masyarakat Trunyan masih mempraktikkan sistem sosial yang diwariskan dari leluhur mereka.
Kepercayaan mereka berakar pada animisme dan dinamisme dengan pengaruh Hindu yang minim.
Ritual dan upacara adat menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan hubungan mereka yang kuat dengan alam dan leluhur.
Desa Trunyan terletak di bagian timur Danau Batur dan dapat diakses dengan perjalanan darat menuju Kintamani, dilanjutkan dengan perjalanan air menggunakan perahu.
Lokasi terpencilnya menjadi faktor utama dalam menjaga keaslian tradisi dan budaya masyarakatnya dari pengaruh luar.
Di tengah modernisasi yang melanda Bali, Desa Trunyan tetap teguh mempertahankan tradisi dan keunikan budaya mereka.
Tradisi pemakaman yang khas serta warisan adat istiadat yang masih dijaga menjadikan desa ini sebagai destinasi menarik bagi peneliti, antropolog, dan wisatawan yang ingin melihat langsung kehidupan masyarakat Bali Aga yang autentik. (TB)