net. |
Lazimnya,
upacara Ngaben selalu identik dengan pembakaran mayat. Namun ada daerah yang
melakukan prosesi pengabenan tanpa melakukan pembakaran mayat. Seperti halnya
yang ada di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali.
Untuk
diketahui, Desa Lemukih merupakan salah satu desa tua yang ada di Kabupaten
Buleleng. Oleh karenanya, desa ini memiliki banyak keunikan dibandingkan dengan
desa lainnya.
Masyarakat
di desa ini memiliki sebuah kepercayaan tentang larangan membakar mayat saat
prosesi ngaben. Hal ini sering disebut dengan bila tanem atau mratiwi. Hingga
hari ini, larangan tersebut masih diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakat
setempat.
Dilansir
dari website Kecamatan Sawan, tak ada sumber tertulis yang menerangkan terkait
larangan membakar mayat saat prosesi ngaben. Akan tetapi, kepercayaan ini terus
dipercaya secara turun-temurun secara lisan.
Salah
seorang tetua adat di Lemukih, I Made Widhi yang diwawancara tanggal 23 Februari
2012 sebagaimana dilansir dari website Kecamatan Sawan ini mengatakan masyarakat
Lemukih menganggap kepercayaan atau mitos tersebut sebagai suatu kebenaran yang
pasti dan tidak bisa diganggu gugat.
Menurut
penuturannya, larangan membakar mayat saat ngaben itu memang sudah dilakukan
secara turun-temurun. Upacara ngaben tanpa melakukan pembakaran mayat ini
disebut dengan istilah bila tanem atau mratiwi.
Adapun
filosofi dari mitos ini yakni agar jasad atau raga yang berasal dari unsur
pertiwi sementara dapat merunduk pada pertiwi atau diistilahkan agar dapat
mencium bunda pertiwi.
Ngaben
yang dilaksanakan di Lemukih awalnya diistilahkan dengan pemuunan yang artinya
pembakaran. Made Widhi pun menambahkan, upacara Ngaben dengan membakar mayat
pernah dilakukan di Lemukih. Namun, saat berlangsungnya proses pembakaran mayat
ini tiba-tiba terjadi kejadian anah.
Api
yang dinyalakan untuk membakar mayat selalu mati dan tak bisa dinyalakan.
Selain itu, mayat yang ada di dalam peti tiba-tiba mengeluarkan keringat. Beberapa
masyarakat yang ada di sekitar tempat dilangsungkannya upacara pembakaran mayat
itu juga mengalami kelingsenan atau kerauhan massal.
Salah
satu orang yang mengalami kerauhan itu lalu berkata bahwa upacara pengabenan
tidak boleh dilakukan dengan membakar mayat. Karena asap dari pembakaran mayat
itu akan sampai ke Pura Bukit Cemara Geseng yang sudah tentu menyebabkan pura
itu leteh atau kotor.
Pengabenan
cukup dilakukan dengan mencabut tanaman yang hidup di sekitar gundukan kuburan jenazah
yang diabenkan. Kemudian, tanaman yang sudah dicabut tersebut dibungkus dengan
kain putih kuning dan dibawa oleh anak perempuan yang masih kecil atau masih
suci.
Untuk
diketahui, Pura Bukit Cemara Geseng merupakan salah satu pura dasar atau pura
yang paling di keramatkan oleh masyarakat Lemukih. Pura ini terletak di sebelah
kanan Desa Lemukih dan tepat berada di puncak bukit.
Setelah
kejadian tersebut, masyarakat Lemukih meyakini bahwa upacara Ngaben tidak boleh
dilakukan dengan cara membakar mayat. Akan tetapi dengan jalan mencabut tanaman
yang tumbuh di sekitar kuburan yang diaben. Apabila larangan itu dilanggar,
masyarakat setempat percaya seluruh desa akan mengalami malapetaka seperti gerubug
atau banyak yang meninggal tanpa sebab yang pasti. (TB)