Mengenal Pura Mandara Giri Semeru Agung, Bermula dari Rombongan Nuur Tirta dari Besakih ke Semeru

Author:
Share
Sumber Ilustrasi: jawatimuran.disperpusip.jatimprov.go.id

Umat Hindu di Lumajang memiliki sebuah pura
bernama Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pura ini berlokasi di Jalan Serma
Dohir, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Bangunan pura ini
berada di timur kaki Gunung Semeru.

Peresmian pura ini dilaksanakan pada Minggu
Umanis Menail, tanggal 8 Maret 1992. Peresmian dipimpin delapan pendeta dengan
upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Pembangunan pura di Kaki
Gunung Semeru ini diwacanakan oleh panglingsir Puri Agung Ubud Ida Tjokorda
Gede Sukawati. Bahkan wacana itu muncul sejak tahun 1963.

Dilansir dari website Koran Buleleng, izin
pendirian awal pura ini sempat ditolak oleh Bupati Lumajang saat itu. Hal ini
dikarenakan lokasinya yang berada di kawasan pemukiman masyarakat non-Hindu.
Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat kemudian menawarkan lokasi di
Desa Kertasari, tapi umat Hindu menolak karena daerah itu adalah aliran lahar
Gunung Semeru.

Selain itu, pembangunan pura direncanakan dilakukan
di Desa Ngandangan. Namun, belum terwujud lantaran lokasinya dinilai tidak
cocok dan terkendala akses jalan. Bahkan, ada beberapa lokasi yang muncul sebagai
alternatif pendirian pura selain di Kertasari juga di Senduro. Namun lokasi di
Senduro agak di bawah dan sempit.

Sementara itu, dilansir dari babadbali.com, keinginan
pemeluk Hindu di Lumajang dan sekitarnya untuk membuat pura telah muncul sejak
tahun 1969. Hal ini kemudian mendapat sambutan saat sejumlah tokoh Hindu di
Bali, terutama sejak diadakan nuur tirta dari Bali langsung ke Patirtaaan Watu Kelosot,
di kaki Gunung Semeru. Nuur tirta ini dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan
Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih pada bulan Maret 1963.

Kegiatan nuur tirta ke Watu Kelosot itu
kembali dilakukan pada tahun 1979 berkaitan dengan digelarnya lagi upacara
Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih. Pada akhir rangkaian Ekadasa Rudra tahun
1979 ini bahkan juga dilakukan upacara majauman ke Patirtaan Watu Kelosot. Sejak
itu dimulailah tradisi rutin nuur tirta saban kali di Besakih dan pura
kahyangan jagat lain di Bali diaturkan upacara berskala besar.

Namun, jarak tempuh Bali-Watu Kelosot ditempuh
dengan perjalanan yang panjang yakni 9-11 jam sekali tempuh. Dari sini kian
kuatlah keinginan untuk mendirikan tempat suci di sekitar Gunung Semeru.

Setelah melalui berbagai perundingan,
akhirnya dipilihlah lokasi berdirinya pura saat ini. Awalnya, luas lahan hanya 25
x 60 meter, belakangan ditambah lagi menjadi 25 x 65 meter, seharga Rp 4,5
juta. Izin pun diajukan kembali, dan tiga tahun kemudian barulah izin tersebut
turun.

Pura pun kemudian dibangun secara bertahap
mulai dari pembangunan Padmasana. Sejak itu pembangunan lancar dan punia mengalir
dari umat di Bali maupun di luar Bali. Pendirian pura bertambah lancar setelah
rombongan dari Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung
Suyasa, Mangku Sueca dari Besakih pada tahun 1989 nuur tirta ke Semeru dan bertemu
umat Hindu asli kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung dengan
tim pembangunan pura setempat.

Untuk menjaga ketertiban dan
pertanggungjawaban pengorganisasian, Parisada Kabupaten Lumajang lantas
menunjuk sejumlah umat sebagai Panitia Penggalian Dana dan Pembangunan Pura
Semeru, lewat Surat Penunjukan nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991. Ketika awal diserahi
tugas membangunan fisik pura, panitia cuma disodori dana Rp 40 juta. Dari
penggalian dana sukarela kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini total sudah
dihabiskan dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura dan
sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga hampir 2 hektar.

Pada hari Minggu Umanis Menail, 8 Maret 1992,
dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas
Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan
pun berubah menjadi tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni – Juli 1992
diaturkan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.

Selanjutnya, Lewat Surat Keputusan Nomor:
07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi,
badan dan majelis yang terkait di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih,
tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas
menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain nama pura
adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat,
tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu
di Indonesia.

Pura Mandara Giri Semeru Agung dilengkapi
dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung (gelungkuri)
di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan
bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan.
Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale
gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai
bangunan suci utama dan sentral.

Di lokasi agak menurun, di sisi timur,
dibangun pasraman sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan
selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan megah dan luas. Di
pura ini juga berdiri Candi Waringin Lawang yang merupakan bangunan khas
Kerajaan Majapahit dengan warna merah bata di pintu masuk pura. Di areal madya
mandala dan utama mandala, kental dengan nuansa arsitektur Bali. Adapun arsitek
yang menggambar pura ini adalah Ir. Nyoman Gelebet.

Sementara itu, dilansir dari Bali Express, Ketua
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Lumajang, Jawa Timur, Edy Sumianto
mengatakan awalnya pura ini hanya bernama Mandara Giri saja. Namun akhirnya
namanya ditambahkan lagi, karena ada seorang anak kecil yang masih duduk di
bangku sekolah dasar karauhan selama tiga hari pada tanggal 15-17 Desember
1992.

Dalam petunjuk tersebut, sang anak meminta agar
Pura Mandara Giri ditambahkan kata Semeru Agung. Sejak itu pula nama pura
menjadi Pura Mandara Giri Semeru Agung. Sementara itu, adapun yang berstana di
Padmasana Pura Mandara Giri Semeru Agung adalah Hyang Siwa Pasupati.

Untuk pujawali di pura ini digelar setiap
Purnama Sasih Kasa. Panyungsungnya di Lumajang sekitar 7.160 umat Hindu.
Biasanya selama nyejer 11 hari saat pujawali, bisa mengumpulkan dana punia
hingga Rp 1 miliar. (TB)

 

Referensi:

https://www.babadbali.com/pura/plan/mandara-giri-semeru.htm

https://koranbuleleng.com/2020/09/27/pura-mandara-giri-semeru-agung-dibangun-penuh-perjuangan/

https://baliexpress.jawapos.com/balinese/28/09/2020/nama-semeru-agung-petunjuk-anak-kecil-karauhan-tiga-hari

https://baliexpress.jawapos.com/balinese/28/09/2020/dibangun-berdasarkan-pawisik-dipilih-karena-bau-tanah-harum

   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!