Cerpen Karya Wulang Pamungsu
Kota itu lelah. Roni bisa merasakannya di bahunya yang pegal, di langkahnya yang tertatih menuju stasiun setelah jam kerja. Udara berbau asap dan bensin. Orang-orang berjalan dengan muka kosong, mata tertuju pada layar ponsel atau lantai kereta yang kotor.
Ia hampir tersandung. Sesuatu menjulur dari trotoar—akar hitam, mengkilap seperti kabel yang terbuka. Roni mengutuk dan menoleh.
Pohon itu pendek, tak lebih tinggi dari pinggangnya. Daunnya kecil-kecil, berbentuk persegi, bergambar chip kartu kredit. Di antara rantingnya, ada sesuatu yang putih dan bergemerisik.
Roni meraihnya. Selembar uang seratus ribu. Baru.
Ia memeriksa sekeliling. Tak ada yang melihat. Orang-orang tetap berjalan, kepala tertunduk. Ia memetik lagi. Ada dua lembar kali ini.
***
Esoknya, uang itu masih ada di dompetnya. Ia membeli kopi tanpa rasa bersalah.
Pohon itu masih di sana. Bunganya lebih banyak hari ini—lima lembar, semuanya seratus ribu. Roni memetik semuanya.
Minggu berikutnya, ia mulai datang sebelum kerja. Lima belas menit setiap pagi, memetik uang yang tumbuh seperti buah masak. Ia membeli jas baru. Ia mentraktir rekan kerjanya minum di bar mahal. Mereka memanggilnya “Bos Roni” sekarang, dan ia tertawa.
***
Seorang wanita tua melihatnya di hari kesepuluh. Matanya tajam.
“Kau mengambil dari Pohon ATM juga?” bisiknya.
Roni mengangguk, tak yakin harus menjawab apa.
Wanita itu memetik selembar untuk dirinya sendiri. “Jangan terlalu banyak. Dulu suamiku—”
Tapi Roni sudah pergi.
Semakin banyak orang yang tahu. Seorang pemuda pengangguran memanjat pohon, mencabut seluruh ranting. Seorang ibu mengambil uang itu untuk bayar hutang rentenir.
Dan suatu pagi, pohon itu layu.
Roni mengguncang-guncang rantingnya. Tidak ada yang jatuh.
Di pangkal pohon, layar kecil menyala. “SALDO TIDAK CUKUP”, tertulis di sana, dengan font merah seperti mesin EDC yang gagal.
Dompetnya terasa berat. Ia membukanya.
Uang-uang yang ia kumpulkan selama sebulan—semuanya berubah jadi potongan kertas bon belanja.
Roni berlari ke bank. Tabungannya—separuhnya hilang.
Di jalan, orang-orang berteriak. Seorang pria memeriksa dompetnya dengan panik. Seorang wanita menangis sambil memegang slip penarikan kosong.
Ketika Roni melewati trotoar tempat Pohon ATM pernah berdiri, ia melihat sesuatu.
Akar-akar hitam itu menjalar di bawah tanah, menghujam ke arah gedung-gedung bank.
Dan di tempat yang sama, tunas kecil mulai tumbuh.
Daunnya berbentuk logo kripto.
Roni duduk di apartemennya yang kosong. Barang-barang mewahnya sudah dijual lagi untuk bayar hutang.
Di luar, hujan mulai turun.
Ia mendengar suara ketukan di jendela.
Selembar uang baru menempel di kaca—bertuliskan “PIN Anda Kedaluwarsa”.
Ia tidak membukanya. (***)
Redaksi Telusur Bali menerima kiriman karya berupa cerpen original karya sendiri. Kirimkan karya ke email asktelusurbali@gmail.com