Dua tahun setelah kepergian maestro seni rupa Bali, I Gusti Made Peredi, warisan karyanya terus bergema. Tak kurang dari 2.617 karya seni miliknya kini ditemukan tersimpan rapi di kediamannya di Jalan Mayor Wisnu, Gang 1/6, Abasan, Desa Dangin Puri, Denpasar Timur. Koleksi ini kini dirawat dan didata oleh anak keduanya, I Gusti Ngurah Dwiana Putra.
Sejak tahun 2022, Dwiana secara telaten menyusun dan merawat peninggalan seni ayahnya, mulai dari sketsa hingga lukisan kanvas. Dari total karya tersebut, sebanyak 2.234 adalah sketsa, 39 lukisan kanvas hitam putih, 97 lukisan cat minyak, 247 lukisan pastel kapur, dan satu langse bergambar wayang.
“Karya-karya ini tidak dibatasi satu medium. Ajik (ayah) menggunakan kapur, pastel, cat air, cat minyak hingga tinta tradisional mangsi. Pilihan media selalu mengikuti fase kehidupannya,” ujar Dwiana.
Sosok I Gusti Made Peredi dikenal sebagai perupa naturalis dengan jiwa pesisir yang kuat. Ia banyak melukis langsung di alam terbuka, khususnya di pantai-pantai seperti Kuta, Jimbaran, Nusa Dua, dan Benoa. Gaya lukisannya mencerminkan kepekaannya terhadap kehidupan pesisir dan spiritualitas Bali.

Tak hanya lanskap alam, Peredi juga menonjol dalam menggambarkan unsur budaya Bali. Ia mengangkat tokoh-tokoh pewayangan, wajah binatang, dan ornamen khas Bali seperti karang guak, karang gajah, dan rangda. Gaya gambarnya unik—berbeda dari tradisi klasik Kamasan—karena menyisipkan unsur anatomi dan pendekatan personal.
Meski tak mengenyam pendidikan formal seni, Peredi merupakan seniman otodidak yang menyerap ilmu dari banyak tokoh. Ia belajar secara informal dari seniman seperti I Gusti Ngurah Gede (Sidik Jari), Pak Kasim, dan guru spiritualnya, Pak Rai Kalam. Pergaulannya yang luas dengan para perupa seperti Ajik Suwandi dan Raka Pasta memperkaya eksplorasi teknik dan medium yang ia gunakan.
“Ajik bukan seniman komersial. Meskipun karya-karyanya banyak diminati, bahkan oleh kolektor luar negeri seperti dari Jerman, beliau tidak pernah menjual lukisan di galeri. Prinsipnya, tidak menilai karya dengan uang,” jelas Dwiana.
Selain sebagai pelukis, Peredi juga dikenal sebagai pendidik dan penggerak seni di lingkungan banjar. Ia pernah mengajar di berbagai tingkat pendidikan, dari SD hingga SMSR Batubulan. Di lingkungan rumah, ia membimbing para pemuda banjar dalam seni mengukir (natah), membuat kober, tangkeb rangda, dan ornamen upacara lainnya.
Lahir dari keluarga seniman—ayahnya seorang pengukir dan ibunya seorang penenun—darah seni mengalir deras dalam diri Peredi. Semangat itu kini diteruskan oleh anak-anaknya, termasuk Dwiana Putra, yang kini berprofesi sebagai arsitek dan turut menjaga tradisi keluarga melalui pembuatan kober sakral.
Perjalanan hidup Peredi tak hanya berhenti di bidang seni. Ia juga pernah terlibat dalam dunia pendidikan, kegiatan komunitas, hingga pembangunan Museum Bali. Sosoknya mencerminkan dedikasi pada kebudayaan Bali dari masa muda hingga akhir hayatnya.
Atas pengabdiannya, Peredi telah menerima sejumlah penghargaan, seperti Seni Kerti Budaya Kota Denpasar (2004), penghargaan Seniman Tua dari Gubernur Bali (2007), dan Piagam Dharma Kusuma (2008).
Kini, meski telah wafat pada 20 Januari 2022, karya dan semangat I Gusti Made Peredi tetap hidup. Dalam ribuan sketsa dan lukisan, dalam tiap guratan tinta dan warna, tersimpan kisah panjang tentang kesetiaan pada seni dan cinta terhadap budaya Bali. (TB)